Jumat, 03 November 2017

TANGISAN NEMO


Byurrr...... aku melompat dari perahu itu. Air laut Pahawang yang hangat membasahi tubuhku. Cahaya matahari menerobos air laut dan memberikan penerangan bagiku. Aku mencari para nemo untuk menari bersama dengan mereka di balik gelembung-gelembung air. Namun, di manakah para nemo itu?

Tiba-tiba.... braaak!!!! Aduh sakit sekali! Badanku terkena kaki orang lain yang sedang snorkling. Ah, lautan ini seperti menjadi sangat sempit. Semua orang ingin menari bersama dengan nemo. Bahkan, ada yang berenang mengejar nemo ini dengan kasar untuk memegang mereka. Aku pun menuju permukaan laut untuk mengambil nafas sejenak. Tiba-tiba aku merasa bahwa air laut ini terasa seperti bercampur rasa kopi pahit. Ah sial! Ternyata aku mengambil nafas di dekat warung apung. Si penjaga warung baru saja menumpahkan kopinya ke laut. Tidak hanya kopi, sampah bekas bungkus kopinya pun dibuang ke laut.

Pantas saja, tidak ada nemo yang mau muncul untuk berenang bersama manusia-manusia jorok ini. Para nemo itu bersembunyi di balik terumbu karang. Aku rasa, trauma tidak hanya terjadi pada manusia. Ikan pun bisa mengalami trauma karena manusia. Bahkan, ekosistem laut dapat rusak karena ketidakpedulian manusia. Bayangkanlah, barangkali ikan-ikan itu sedang meneteskan air matanya dan gemetar ketakutan ketika Anda memaksa memegangnya.  

Aku heran dengan manusia-manusia yang merasa tak bersalah ketika membuang sampah di laut, melukai para nemo dan merusak terumbu karang. Membuang sampah di laut sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Menangkap dan menyentuh nemo pun dipandang kebanggaan. Berfoto dengan menginjak terumbu karang dipandang sebagai sesuatu yang keren.

Bagaimana jika kutegur? Mungkin aku yang akan dianggap gila karena lebih banyak yang melanggar ketimbang yang sadar. Terkadang, manusia melakukan segala cara untuk mendapatkan kesenangannya. Manusia lupa bahwa apa yang ia lakukan untuk mendapatkan kesenangan ternyata membuat makhluk yang lain menderita. Manusia lupa bagaimana caranya bersahabat dengan para nemo dan ekosistem laut.

Kutuliskan kesedihan dan jeritan hatiku dalam tulisan ini. Aku berharap semakin banyak yang membacanya dan menyadari tugas dan panggilan kita untuk memelihara bumi. Alam adalah sahabat kita. Perlakukanlah mereka sebagai sahabat dengan cinta yang Tuhan anugerahkan kepadamu.



Puncak, 3 Nopember 2011
YIR

1 komentar:

David Roestandi mengatakan...

bagus sekali renungan ini traveler yang selalu berefleksi
mantap jiwa