Byurrr...... aku melompat dari perahu itu. Air laut Pahawang
yang hangat membasahi tubuhku. Cahaya matahari menerobos air laut dan
memberikan penerangan bagiku. Aku mencari para nemo untuk menari bersama dengan
mereka di balik gelembung-gelembung air. Namun, di manakah para nemo itu?
Tiba-tiba.... braaak!!!!
Aduh sakit sekali! Badanku terkena kaki orang lain yang sedang snorkling. Ah,
lautan ini seperti menjadi sangat sempit. Semua orang ingin menari bersama
dengan nemo. Bahkan, ada yang berenang mengejar nemo ini dengan kasar untuk
memegang mereka. Aku pun menuju permukaan laut untuk mengambil nafas sejenak. Tiba-tiba
aku merasa bahwa air laut ini terasa seperti bercampur rasa kopi pahit. Ah sial!
Ternyata aku mengambil nafas di dekat warung apung. Si penjaga warung baru saja
menumpahkan kopinya ke laut. Tidak hanya kopi, sampah bekas bungkus kopinya pun
dibuang ke laut.
Pantas saja, tidak ada nemo yang mau muncul untuk berenang
bersama manusia-manusia jorok ini. Para nemo itu bersembunyi di balik terumbu
karang. Aku rasa, trauma tidak hanya terjadi pada manusia. Ikan pun bisa mengalami
trauma karena manusia. Bahkan, ekosistem laut dapat rusak karena ketidakpedulian
manusia. Bayangkanlah, barangkali ikan-ikan itu sedang meneteskan air matanya dan
gemetar ketakutan ketika Anda memaksa memegangnya.
Aku heran dengan manusia-manusia yang merasa tak bersalah ketika
membuang sampah di laut, melukai para nemo dan merusak terumbu karang. Membuang
sampah di laut sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Menangkap dan menyentuh
nemo pun dipandang kebanggaan. Berfoto dengan menginjak terumbu karang
dipandang sebagai sesuatu yang keren.
Bagaimana jika kutegur? Mungkin aku yang akan dianggap gila karena
lebih banyak yang melanggar ketimbang yang sadar. Terkadang, manusia melakukan
segala cara untuk mendapatkan kesenangannya. Manusia lupa bahwa apa yang ia
lakukan untuk mendapatkan kesenangan ternyata membuat makhluk yang lain menderita.
Manusia lupa bagaimana caranya bersahabat dengan para nemo dan ekosistem laut.
Kutuliskan kesedihan dan jeritan hatiku dalam tulisan ini. Aku
berharap semakin banyak yang membacanya dan menyadari tugas dan panggilan kita
untuk memelihara bumi. Alam adalah sahabat kita. Perlakukanlah mereka sebagai
sahabat dengan cinta yang Tuhan anugerahkan kepadamu.
Puncak, 3 Nopember 2011
YIR
1 komentar:
bagus sekali renungan ini traveler yang selalu berefleksi
mantap jiwa
Posting Komentar