Selasa, 20 Februari 2024

Menyusui dan Menyapih Seren

Perjalanan menyapih adalah pengalaman hidup yang sangat memberatkan hati. Dari menyapih, aku belajar arti melepaskan yang pernah diperjuangkan dan dipertahankan. Sedikit flash back, perjalanan menyusui Seren di awal-awal adalah pengalaman yang sangat berat. Berhadapan dengan Jaudince dan Hyper-billirubin membuat aku harus berhenti menyusui. Komplikasi yang terjadi membuat asi ini harus dipompa namun tidak diminum. Ditambah covid yang memisahkan aku dari Serenity. Awal kehidupan anak ini sungguh berat dan aku berjuang demi hidupnya. Serenity juga pejuang kehidupan. Dia tangguh menghadapi hidup dan mau hidup.

Hingga dua tahun dilewati. Serenity belajar tidak "menyenyen". Tiga bulan sebelum penyapihan, kami selalu mensounding Serenity setiap hari, "Seren, kalau sudah dua tahun dan tiup lilin, artinya kamu sudah besar. Seren belajar berhenti menyenyen yah." Seminggu sebelum ulang tahunnya, aku mencoba menyapih di siang hari. Serenity menangis meraung-raung hingga 2,5 jam. Namun, kami cuman memeluknya dan menggendongnya hingga Serenity tertidur. Big thanks to zakkel baby, alat gendong yang ampuh. 

Malam harinya, dia masih tidur menyenyen. Namun, setelah dia tertidur, aku menangis kencang sekali, 2.5 jam pula. Aku tiba-tiba merasa sedih dan kehilangan. Ternyata aku pun harus belajar mengikhlaskan. Maka kudedikasikan malam itu untuk menangis kencang. Semua memori indah, haru dan lucu dari perjuangan menyusui terbayang kembali. Aku teringat di TU gereja, dia memanggil aku dengan sebutan si nyenyen. Saat air mata mengalir begitu deras, aku menyadari bahwa aku begitu menyayangi Serenity. More than I think before. Tampaknya menyapih adalah pengalaman "sarang kosong" pertama dari seorang ibu. Karena aku tahu, setelah ini Serenity akan semakin mandiri. 

Keesokan harinya, Serenity sudah mulai belajar tidur siang tanpa nyenyen. Setelah ulang tahunnya dirayakan di SBI di hari Sabtu, dia sangat senang. Dia tertawa saat kami cium. Dia tahu mama papanya sangat menyayanginya. Doaku: "Semoga Serenity bisa belajar melepas nyenyen yah. Semoga mama juga bisa melepas Serenity tidak menyenyen dengan ikhlas. Semoga Serenity sehat, bahagia, dan taat pada Tuhan Yesus." Malamnya, saya masih mengijinkan Serenity tidur dengan menyenyen. Sambil aku membisiki, "Minggu depan belajar tidak nyenyen di pagi hari yah. Minggu depannya tidak menyenyen di malam hari."

Amazing! Hari Senin, Serenity bangun dan langsung minta susu botol. Aku kaget setengah mati! Bangga, haru, campur sedih. Semuanya menjadi satu. Anak aku berproses dengan sangat cepat. Hari selasa pun dia sudah tidak mencari nyenyen di pagi hari. Di malam hari, Serenity mampu tidur dengan digendong Ibu pengasuh. Yang mana biasanya dia tidak pernah mau tidur kalau aku belum pulang. 

Seren, kamu sungguh-sungguh fast learner. Mama bangga padamu, karena kamu berani berproses. Mama tidak menyangka prosesnya secepat ini. Namun, satu yang mama tau, kita berdua belajar berproses sebagai ibu dan anak. I love you deeply to the moon and back. I hope you are growing well. Semoga minggu depan kita udah bisa jalan-jalan cuti ke tempat yang indah yah. Pengen banget mama bisa travelling bareng kamu dan papa nikmatin dunia ini. 

Terima kasih sudah menjadi salah satu alasan buat aku untuk mencintai kehidupan. Sekalipun ada banyak tantangan di gereja, juga saat ada yang melontarkan maki-makian yang kurang jelas dan tidak pakai data. Senyumanmu memberikan kekuatan untuk bertahan. 


Your loving mom,

YIR

20 Februari 2024


Jumat, 09 Februari 2024

Rabu Abu

Konteks Yoel 2:1-2, 12-17 menunjukkan bahwa pada saat itu orang Israel diminta untuk menceritakan kepada anak-cucu mereka tentang tulah belalang, atau locus plague. Belalang hewan yang sangat kecil, namun menyebabkan kehancuran semua kebun, pohon, dan ladang mereka. Tulah ini berdampak pada krisis ekonomi dan krisis pangan. Dikatakan makanan sudah lenyap, biji-bijian menjadi kering, dan lumbung-lumbung licin tandas. Hewan-hewan pun merasan dan gempar sebab tidak ada rumput. 

Saat membaca konteks kitab Yoel, saya tertegun. Manusia dan dunia ternyata rapuh. Karena itu, Yoel mengaitkan tulah yang dialami pada zamannya dengan panggilan pertobatan bagi seluruh umat. Mungkin kita bertanya, loh apa salah saya? Saya kan tidak mencuri, saya tidak berselingkuh, saya rajin beribadah Saudara, pertobatan bukan sekadar dilakukan atas apa yang sering kita sebut sebagai “dosa pribadi”. Dosa juga  terjadi karena suatu sikap merasa diri berkuasa dan mampu melakukan banyak hal sehingga kita tidak mengingat Sang Pencipta kita. Sikap merasa diri berkuasa ini pada ujungnya membentuk sistem-sistem yang dirasuk oleh roh jahat sehingga susah untuk diputuskan dan dihancurkan.

Kita membutuhkan kuasa Illahi yang sanggup memulihkan kita dan menghancurkan struktur demonik itu. Karena itu, pertobatan komunal diperlukan, sebagaimana yang diserukan Nabi Yoel. Akuilah kerapuhan kita di hadapan Allah. Karena, seberapapun berkuasanya kita, ingatlah bahwa kita ini rapuh dan tidak bisa mengontrol kehidupan ini. Nabi Yoel mengatakan, “Tiuplah sangkakala di Sion dan berteriaklah di gunung-Ku yang kudus! Sangkakala ditiup dan suara pertobatan diteriakkan di gunung Tuhan yang kudus agar semua orang menyadari pentingnya pertobatan komunal itu.

Namun perlu diingat, pertobatan komunal ini melibatkan dua sisi. Ritual dan Hati. Kita diajak untuk melakukan ritual bersama: berpuasa, dengan menangis, mengaduh, mengoyakan pakaian tanda dukacita. Namun ritual itu harus dilakukan dengan hati yang terarah kepadanya. Yoel berkata, “Koyakkanlah hatimu” berbaliklah pada Tuhan. 

Dan semua orang harus terlibat: anak-anak, bahkan anak-anak yang menyusu; baiklah penganten  laki-laki, penganten perempuan, imam, pelayan-pelayan TUHAN, diundang untuk menangis di antara balai depan dan mezbah. dan berkata: "Sayangilah, ya TUHAN, umat-Mu, dan janganlah biarkan milik-Mu sendiri menjadi cela,  sehingga bangsa-bangsa menyindir kepada mereka. Mengapa orang berkata di antara bangsa: Di mana Allah mereka?"

Sungguh menarik, bayi pun diminta untuk meratap dan menangis di hadapan Tuhan. Karena pertobatan bukan hanya perihal individu, namun semua orang. Inilah yang kita lakukan pada ritual rabu abu. Kita menorehkan abu di dahi kita, atau orang-orang di rumah termasuk anak-anak kita untuk mengingatkan akan kerapuhan kita di hadapan Tuhan. Kita masuk ke dalam ruang pertobatan untuk Kembali kepada Tuhan, dalam kerapuhan kita. Bukankah di dalam kerapuhan dan kegelapan hidup sampai kita memasuki titik “nothingness” titik dimana kita menyadari bahwa kita ini bukanlah orang yang memiliki kuasa atas hidup orang lain dan diri kita sendiri. Kita ini debu dan abu yang dicintai-Nya.  Selamat merenungkan makna rabu Abu. Tuhan memberkati.