Jumat, 09 Februari 2024

Rabu Abu

Konteks Yoel 2:1-2, 12-17 menunjukkan bahwa pada saat itu orang Israel diminta untuk menceritakan kepada anak-cucu mereka tentang tulah belalang, atau locus plague. Belalang hewan yang sangat kecil, namun menyebabkan kehancuran semua kebun, pohon, dan ladang mereka. Tulah ini berdampak pada krisis ekonomi dan krisis pangan. Dikatakan makanan sudah lenyap, biji-bijian menjadi kering, dan lumbung-lumbung licin tandas. Hewan-hewan pun merasan dan gempar sebab tidak ada rumput. 

Saat membaca konteks kitab Yoel, saya tertegun. Manusia dan dunia ternyata rapuh. Karena itu, Yoel mengaitkan tulah yang dialami pada zamannya dengan panggilan pertobatan bagi seluruh umat. Mungkin kita bertanya, loh apa salah saya? Saya kan tidak mencuri, saya tidak berselingkuh, saya rajin beribadah Saudara, pertobatan bukan sekadar dilakukan atas apa yang sering kita sebut sebagai “dosa pribadi”. Dosa juga  terjadi karena suatu sikap merasa diri berkuasa dan mampu melakukan banyak hal sehingga kita tidak mengingat Sang Pencipta kita. Sikap merasa diri berkuasa ini pada ujungnya membentuk sistem-sistem yang dirasuk oleh roh jahat sehingga susah untuk diputuskan dan dihancurkan.

Kita membutuhkan kuasa Illahi yang sanggup memulihkan kita dan menghancurkan struktur demonik itu. Karena itu, pertobatan komunal diperlukan, sebagaimana yang diserukan Nabi Yoel. Akuilah kerapuhan kita di hadapan Allah. Karena, seberapapun berkuasanya kita, ingatlah bahwa kita ini rapuh dan tidak bisa mengontrol kehidupan ini. Nabi Yoel mengatakan, “Tiuplah sangkakala di Sion dan berteriaklah di gunung-Ku yang kudus! Sangkakala ditiup dan suara pertobatan diteriakkan di gunung Tuhan yang kudus agar semua orang menyadari pentingnya pertobatan komunal itu.

Namun perlu diingat, pertobatan komunal ini melibatkan dua sisi. Ritual dan Hati. Kita diajak untuk melakukan ritual bersama: berpuasa, dengan menangis, mengaduh, mengoyakan pakaian tanda dukacita. Namun ritual itu harus dilakukan dengan hati yang terarah kepadanya. Yoel berkata, “Koyakkanlah hatimu” berbaliklah pada Tuhan. 

Dan semua orang harus terlibat: anak-anak, bahkan anak-anak yang menyusu; baiklah penganten  laki-laki, penganten perempuan, imam, pelayan-pelayan TUHAN, diundang untuk menangis di antara balai depan dan mezbah. dan berkata: "Sayangilah, ya TUHAN, umat-Mu, dan janganlah biarkan milik-Mu sendiri menjadi cela,  sehingga bangsa-bangsa menyindir kepada mereka. Mengapa orang berkata di antara bangsa: Di mana Allah mereka?"

Sungguh menarik, bayi pun diminta untuk meratap dan menangis di hadapan Tuhan. Karena pertobatan bukan hanya perihal individu, namun semua orang. Inilah yang kita lakukan pada ritual rabu abu. Kita menorehkan abu di dahi kita, atau orang-orang di rumah termasuk anak-anak kita untuk mengingatkan akan kerapuhan kita di hadapan Tuhan. Kita masuk ke dalam ruang pertobatan untuk Kembali kepada Tuhan, dalam kerapuhan kita. Bukankah di dalam kerapuhan dan kegelapan hidup sampai kita memasuki titik “nothingness” titik dimana kita menyadari bahwa kita ini bukanlah orang yang memiliki kuasa atas hidup orang lain dan diri kita sendiri. Kita ini debu dan abu yang dicintai-Nya.  Selamat merenungkan makna rabu Abu. Tuhan memberkati.  


Tidak ada komentar: