Selasa, 25 Oktober 2011

Surat untuk Kak Christin

Jul 9, '10 11:02 PM


Untuk sahabatku terkasih,
Saya tidak tahu sekarang, tubuhmu ada di mana. Sudah hampir dua minggu yang lalu kau pergi dengan cra yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Kau pergi begitu cepat, tidak sempat kita berucap kata untuk mengucapkan salam perpisahan.

Seperti aku dan kau mengetahuinya, kita tidak pernah akur. Aku marah padamu. Aku malas menyapamu. Di tanah air kita, aku tidak pernah menyapamu. Aku melewatimu begitu saja saat kau ada di depanku. Yah, itu karena aku sungguh marah padamu. Aku marah saat kau memberikan nilai C padaku, tanpa memeriksa ujianku. Aku tahu itu! Menyapamu saja aku malas. Ya, Aku marah padamu!

Entah kenapa, Tuhan memberikan kesempatan bagi kita untuk berjumpa di benua yang lain untuk mengikuti sebuah acara yang besar. Aku tidak tahu sebelumnya bahwa aku harus berjumpa denganmu lagi di kampus itu. Ya, di kampus itu, aku berjumpa lagi denganmu. Entah mengapa, kita saling berpelukan. Agak aneh dan lucu kurasa. Aku mencoba untuk mulai memaafkanmu. Aku mencoba. Tapi, dua hari sebelum kau pergi, lagi-lagi kau mengatakan sesuatu yang membuat aku terluka. Sungguh aku terluka dan kesal. Sekali lagi, aku marah padamu!

Haripun berlalu dan acara besar ini pun selesai. Dengan tarian jari-jarimu di tuts piano, kau mengiringi ibadah dengan sempurna. Lagi-lagi, kau mendekatiku dan mengajakku foto. Kau memeluk erat diriku. Tersenyum dengan penuh gembira. Kau memintaku untuk mengambil gambarmu dengan teman-teman yang lain. Lambat laun, aku mulai merasakan kedamaian di hatiku. Suara hatiku bicara, “Ah, dia nampaknya ingin berdamai denganku.”

Tapi, setan dalam hatiku masih bicara. Aku masih malas menatap wajahmu. Aku masih menggunakan topeng senyum di hadapanmu. Aku tahu, kau juga mengetahuinya dan merasakan kepura-puraanku. Sekali lagi, kau mencoba untuk mendekatiku, kau memberikan sejumlah wayang unik untukku. Katamu, “Aku tidak mungkin membawanya ke tanah air, ngapain coba?” Aku tertegun melihat sikapmu. Aku terima wayang itu, dan aku mulai merasakan kasih hadir di hatiku untukmu.

Mentari pun pergi, dan malampun menyelimuti kalbu. Aku membuka komputer mini kepunyaanku, dan membuka facebook. Aku nampak terkejut melihat permintaanmu untuk menjadi temanku di facebook. Aku semakin bahagia, dan menyadari bahwa kau menginginkan sebuah rekonsiliasi denganku. Aku berharap, setelah sampai di negeri pertiwi hubungan kita akan membaik.

Tidak lebih dari 1 menit, sejak aku menerimamu sebagai temanku di facebook, seseorang meneleponku. Waktu itu, tepat pukul 22.32 waktu Grand Rapids. Dia mengaku bernama John, dan dia berteriak padaku lewat telepon. Dia menyampaikn kabar yang menyayat hatiku, dia bilang bahwa kau kecelakaan. Dia memintaku untuk mencri ibu Erry dan menyampaikan kabar ini. Aku terkejut sungguh terkejut. Aku masih menyangkali hal itu. Aku pikir ini tidak mungkin! Saat itu. Aku lari dari kamarku, dan mencari Yael, sepupuku. Aku dan Yael berlari dan mencari pertolongan untukmu. Tapi sungguh, aku tidak menemukan kamar Ibu Erry. Aku dan kawan-kawanku berlari mencari kamar Delegasi Indonesia yang lain, hingga akhirnya kita menemukan Bapak Kadarmanto, rekan dosenmu di kampus kita.

Aku memutuskan untuk tidak ikut ke Rumah Sakit. Aku memilih untuk menunggu kabar tentangmu. Ah, pukul 12.00, sepupuku meneleponku dan mengatakan bahwa kau ada dalam kondisi kritis. Sungguh, aku terkejut. Aku berlari lagi dan meminta pertolongan agar aku bisa pergi ke rumah sakit. Akhirnya, aku mendapat pertolongan, aku pun pergi ke rumah sakit.

Aku menunggumu di rumah sakit. Aku mendengar kabar yang sangat buruk dari dokter yang mengoperasimu. Aku masuk, terjun ke dalam tahap penolakan. Aku tidak yakin, bahwa kau separah itu.
Waktu pun berpacu, dan aku melompat ke tahap tawar menawar.

Aku bicara pada Tuhan, Sang empunya kehidupan. Ah, Tuhan belum lebih dari 24 jam aku merasakan kedamaian ketika berada di dekatnya. Masa Engkau mau mengambilnya? Aku tidak rela Tuhan. Berikan dia kesempatan untuk hidup dan sembuh.
Belum selesai aku menawar dengan Tuhan, dokter sudah datang dan membawa kabar yang berat untuk kuterima. Kau telah pergi.

Kau telah pergi sahabatku. Berat rasaya menerima kenyataan ini, tapi kau memang sudah pergi bersama Tuhan Yesus, Tuhan yang selalu memelihara aku dan kau. Tuhan yang memiliki rancangan indah. Aku menatap wajahmu, kau sudah merasakan kedamaian di sana. Terimakasih sahabat, karena aku masih bisa merasakan indahnya rekonsiliasi dan persahabatan denganmu, walau hanya satu hari. Terimakasih, kau mengajarkanku arti rekonsiliasi dan persahabatan. Kau sahabat dan guru bagi makna hidup. Selamat jalan sahabatku... Tuhan menyayangimu....

Holland, 8 Juli 2010.
Sahabatmu,
Yesie

Tidak ada komentar: