Selasa, 25 Oktober 2011

“Rumah Sakit Cepat Mati”


Aku berjalan menuju ranah itu untuk bertandang melihat ibunda temanku. Ranah itu tidaklah jauh dari tempatku bersekolah—tempat yang memfasilitasiku untuk membongkar elemen-elemen dalam otak dan batinku. Ibunda temanku (yang seringkali kupanggil tante) sedang berjuang melawan sejumlah makhluk lain yang ingin menjadi penguasa penuh atas dirinya.
Ranah yang akan kukunjungi dan bukanlah ranah yang sakral. Oleh karena itu, seharusnya semua orang dari berbagai golongan -- usia, jenis kelamin, pekerjaan dan tingkat ekonomi— boleh memasukinya dan mendapatkan pelayanan di dalamnya. Mengapa? Kata orang, ranah yang disebut dengan Rumah Sakit XXXX adalah fasilitas umum milik pemerintah. Kalau benar begitu, idealnya seharusnya semua orang bisa menginjak ranah itu dan menikmati fasilitas di dalamnya.
Yah, idealnya hanya tinggal idealnya saja. Angan hanya tinggal angan. Asa hanya tinggal asa. Realita yang kulihat memiliki rentang yang sangat jauh dengan kata “ideal”, “asa” dan “angan”. Aku berjalan memasuki pintu masuk ranah tersebut. Aku melihat di kanan dan kiriku tergeletak pasien-pasien yang pucat tidak berdaya. Mereka berjuang dengan segenap kekuatannya untuk melawan seleksi alam. Mereka masih menanti-nantikan pengobatan murah, yang katanya bisa membantu mereka lolos dari seleksi alam itu.
Aku melewati ruang tunggu keluarga pasien. Ruang ini terletak di samping ICU. Ruangan yang cukup besar ini dipenuhi berjubel manusia di dalamnya. Mereka saling berebut kursi di ruang tunggu tersebut. Sebagian lainnya, sudah tidak peduli dengan kursi, mereka membawa kardus bekas dan tidur nyenyak di atas tilam yang mereka bawa.
     Aku memandang temanku yang sedang duduk di kursi tunggu pasien. Wajahnya tampak keletihan. Ia telah menunggu di kursi itu sejak pagi. Aku duduk di sebelahnya, tanpa berani berkata-kata. Kutawarkan kue dan air yang kubawa untuk mengganjal perutnya. Setelah berbincang sebentar, aku melangkah memasuki ruang ICU tempat tante dirawat.
     Di ruangan itu, aku melihat berpuluh-puluh pasien yang dirawat karena berbagai macam penyakit. Aku menghampiri tante. Ia mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit ini yang begitu buruk. Kondisi itu membuat hatiku teriris-iris. Tiba-tiba datang seorang gadis cantik berpakaian serba putih, sepertinya ia masih menjadi mahasiswi kedokteran. Ia datang dan berkata dengan kasar, “ambil darah dulu!” Kulihat dia mengambil jarum suntik. Ia mencoba mengambil darah tante sampai tiga kali. Namun, ia tak kunjung berhasil. Emosinya naik pada level tertinggi, ia melemparkan jarum suntiknya ke tempat sampah. Lalu ia memanggil suster lainnya dan menyerahkan tugasnya pada suster itu.
     Aku hanya menggelengkan kepalaku. Tante hanya tersenyum miris. Sahabatku mengomel-ngomel. Apakah tempat ini memanusiakan manusia? Aku ragu!
     Karena ruangan tersebut semakin sesak, aku keluar dari ruangan itu. Aku melihat seseorang --yang seolah-olah menjadikan tubuhnya sebagai sebuah etalase emas—- sedang berlari tergopoh-gopoh. Dengan mudah ia menerobos barisan antrean pasien lain yang berjejer seperti pindang. Lalu ia segera masuk ruang ICU sambil membawa salah seorang anggota keluarganya yang pucat karena sakit.
Tiba-tiba aku mendengar lolongan tangisan yang cukup hebat dari seorang ibu, “Ia pergi… Terlalu cepat… ini semua karena keterlambatan! Seharusnya ia masih bisa ditolong….” Ibu tersebut pinsan karena terlalu terkejut! Ya, terkejut karena ia tidak bisa menyintai anaknya dengan tubuh yang hidup dan nyata lagi.
Aku mereka-reka dalam hatiku, sepertinya orang yang telah berpulang itu adalah orang yang kecelakaan tadi. Aku telah memerhatikannya sejak awal. Ia lambat mendapatkan pertolongan.
Waktu terus memacu langkahnya, meninggalkan malam menuju petang. Ahhh, semua yang kulihat dengan mataku ini memesonaku dan menjerumuskanku ke dalam alam refleksi sadarku. Aku mencoba menenangkan diriku dan menyusun kembali mozaik-mozaik peristiwa itu. aku mencoba mencari makna di antara sela-sela kepingan mozaik itu dan di dalam keutuhannya.
Semua peristiwa itu membuatku berpikir ulang. Masih pantaskah ranah ini dianggap sebagai ranah pelayanan yang dapat membantu manusia dari semua golongan untuk keluar dari “seleksi alam” itu. Atau, jangan-jangan ranah ini hanya semakin menjerumuskan manusia menjadi korban yang kalah dalam pertarungan antara hidup dan mati? Di mana letak pelayanannya? Dari harganya yang murah kah? Hahaha… murah? Kurasa tidak juga! Untuk mendapatkan fasilitas murah itu, seseorang harus melewati tahapan yang panjang, melelahkan, dan dalam rentang waktu yang sangat lama. Haruskah si sakit harus berjuang dalam kesakitannya sambil menunggu fasilitas  itu? Bagaimana nasib gelandangan yang KTP pun tak punya? Haruskah mereka mengurus gakin terlebih dahulu. Hahaha, akhirnya aku membenarkan sebuah seloroh tentang rumah sakit ini --- “Rumah Sakit Cepat Mati”---.

Kiranya tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua
dalam semangat dan tindakkan nyata untuk memerbaiki negeri tercinta. Semua kisah dalam deskripsi tulisanku bukanlah kisah satu hari saja. Melainkan kumpulan kisah pengalamanku yang kukemas
dalam cerita satu hari di rumah sakit cepat mati.
Inspired by my experience in 2008.
Created by: Yesie Irawan

Tidak ada komentar: