Selasa, 25 Oktober 2011

Di mana Dia? Bersembunyikah Dia?



Aug 6, '09 10:05 AM
Iklan --ketik reg spasi hoki, ketik reg spasi jodoh, ketik reg spasi ramalan, dan lain sebagainya-- menjadi iklan yang cukup diminati oleh kalangan dari berbagai lapisan usia, jenis kelamin dan ekonomi.  Rasanya, iklan itu sudah menjamur di setiap saluran televisi. Sebenarnya, fenomena seperti ini bukanlah hal yang aneh dan baru. Manusia pada umumnya, penasaran untuk mengetahui masa depannya. Rasa penasaran itu juga dipicu oleh berbagai hal, seperti: tekanan yang harus dihadapi manusia dalam kehidupannya saat ini serta ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi. 

Mempertanyakan ‘yang dianggap bersembunyi’ di Tengah Tekanan Hidup
Berbagai tekanan – seperti kesulitan ekonomi akibat krisis global yang kian menghimpit, percekcokan dalam rumah tangga, serta berbagai persoalan lainnya -- menyerang dan menghujam manusia dari berbagai arah. Manusia terbelenggu dalam derita dan kesesakan sehingga gerakannya pun menjadi begitu terbatas. Manusia mengerang dan menjerit dalam sisa-sisa kekuatannya untuk bertahan. Di dalam ketertekanannya, manusia dihantarkan pada satu titik kritis yang membuatnya bertanya, “Di mana Allah itu?”. Lalu, selanjutnya manusia mulai memposisikan Allah sebagai terdakwa yang meninggalkan umat-Nya di dalam penderitaan.

Terkadang, manusia yang tidak dapat bertahan dalam pergumulannya, dapat mencari “jalan yang lain” dengan mendatangi paranormal yang ia anggap sanggup untuk menyingkapkan jalan keluar yang dapat mengeluarkannya dari masalah. Paranormal dianggap sebagai figur yang nyata dan dapat memberikan kepastian jalan keluar di tengah himpitan derita kehidupan.
Sementara itu, Allah dianggap sebagai Allah yang absen, Deus absconditus. Allah tampaknya bersembunyi dan melepaskan pegangan tangan-Nya bagi manusia.

Sebenarnya, hal mempertanyakan keberadaan Allah dalam penderitaan yang kita hadapi bukanlah hal yang aneh. Dalam terang kesaksian Perjanjian Lama, kisah Ayub menghantarkan kita pada sebuah dimensi perenungan dan pergumulan seorang manusia di tengah kemalangan yang menghimpitnya. Ayub tidak bersalah, namun ia harus mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Hal yang menarik dari Ayub adalah ia tetap setia kepada Allah di dalam keluhan-Nya. Ia memang menjerit, mengeluh dan mempertanyakan kehadiran Allah di tengah-tengah penderitaannya. Namun, Ayub tetap setia kepada Allah dan tidak berpaling kepada Iblis. Hingga pada akhirnya, Ayub keluar dari penderitaannya dengan sebuah pengakuan bahwa ia mendapatkan pemahaman terhadap Allah di dalam pergumulan dan perjuangan-Nya bersama Allah (Ayub 45:5-6). Di hadapan Allah yang Maha Besar, Ayub mengakui bahwa ia hanyalah sebatang lidi yang sangat kecil, dan rapuh. Kisah Ayub ini dapat menunjukkan bahwa “yang dianggap tersembunyi” itu sebenarnya selalu ada. Penempaan diri kita di dalam pergumulan, membuat kita semakin memahami “yang dianggap bersembunyi” itu, setelah kita berhasil memenangkan pergumulan itu.  

Mempertanyakan ‘yang dianggap bersembunyi’ di tengah ketidakadilan dan kekejaman yang kita saksikan 
Lebih lanjut lagi, manusia akan mempertanyakan keberadaan Allah lagi ketika menyaksikan berbagai ketidakadilan dan kekejaman yang dilakukan oleh sesamanya. Bagaimana manusia dapat memahami keberadaan Allah di tengah-tengah kekejaman umat manusia? Allah seolah-olah tidak berkutik dan tidak mempu menunjukkan sengatnya di tengah ketidakadilan hukum yang ada. Allah seolah-olah berada di bawah ketiak para pelaku ketidakadilan.

Hati saya sempat teriris-iris ketika mendengar berita ketidakadilan yang diterima oleh Alm. David dan keluarganya dalam kasus David yang mati dibunuh di NTU. Di mana Allah? Bukankah Ia adalah Allah yang Maha Kuasa? Mengapa Ia tidak bertindak? Sedang tidurkah Ia? Lagi-lagi manusia menganggap Allah sedang tidur dan cuci tangan dalam penderitaan manusia. Lalu kemudian, manusia tergoda kembali untuk mempercayai celoteh para paranormal untuk menghindari ketidakadilan serupa yang dapat menimpa dirinya.

Lagi-lagi, kesaksian Alkitab menunjukkan bahwa Allah tidak bersembunyi di dalam penderitaan kita. Sebenarnya, kita yang tidak peka terhadap kehadiran Allah di tengah ketidakadilan yang dilakukan manusia. Allah bahkan turut menderita bersama-sama dengan manusia. Allah bukanlah person yang hanya duduk di tahta sambil memandang penderitaan manusia. Melalui figur Yesus yang menderita dan mati di kayu salib, Allah pun turut merasakan ketidakadilan manusia. Kematian Yesus tidak hanya menunjukan bentuk penggenapan janji keselamatan Allah kepada manusia. Kematian Yesus juga menunjukan sebuah dimensi ketidakadilan yang dilakukan oleh ahli taurat, orang farisi dan penguasa pada jamanNya.

Menurut Jurgen Moltmann (seorang teolog pengharapan), ketika sang Bapa menyerahkan Sang Anak, saat itulah Ia menyerahkan diri-Nya sendiri. Sang Anak memikul sengsara dan derita karena kasih-Nya untuk menyelamatkan manusia yang berdosa. Sementara itu, Sang Bapa menanggung sengsara karena ia harus merasakan perihnya kematian Anak-Nya yang Ia kasihi. Kesengsaraan Allah muncul dari kesakitan ilahi yang dilandasi kasih ilahi. Jadi sebenarnya, Allah tidak bersembunyi dalam penderitaan. Manusialah yang sering kali kurang jeli, dan menganggap Allah hanya bersembunyi dan tidak ambil bagian dalam penderitaan. Di dalam Yesuslah, nyata tindakan berbelarasa dari Allah.

Tersingkaplah Tugas dari ‘Yang Kita Anggap Bersembunyi itu”

Kehadiran, penebusan, kematian, kebangkitan, kenaikan Kristus dan pencurahan Roh Kudus menyingkapkan sebuah tugas pengutusan dari ‘Yang kita anggap tersembunyi itu’. Kerajaan Allah telah hadir! Saat ini kita menunggu penyempurnaan kerajaan Allah. Lalu, pengikut Kristus memiliki tugas pengutusan untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dalam dan untuk dunia.

Dengan bagaimanakah caranya? Salah satunya adalah dengan tindakan berbelarasa terhadap seluruh ciptaan yang menderita dan mengalami ketidakadilan, baik itu alam maupun sesama umat manusia. Sebagaimana Allah telah berbelarasa terhadap kita, maka kita pun harus berbelarasa.

Yesus ada di dalam setiap ciptaan yang menderita. Iklim yang tidak menentu, kekeringan dan banjir yang melanda bumi adalah jeritan bentuk erangan kesakitan alam. Ya, tidak hanya alam yang mengerang, Yesus yang ada bersama-sama dengan alam yang menderita itu pun berteriak mengaduh kesakitan! Yesus menjerit bersama dengan alam yang mengamuk dan memprotes segala bentuk ketidakadilan yang telah ia alami. Alam sudah muak dengan sikap hidup manusia yang gemar menebang hutan sembarangan, gemar membuang sampah sembarangan, boros menggunakan kertas, dan kegemaran yang merusak lainnya. Sudahkah kita tergerak untuk berbela rasa terhadap mereka?

Yesus juga ikut mati diracun ketika Munir mati diracun. Yesus juga ikut mati dibunuh, ketika David dibunuh. Yesus juga ikut dipasung dalam penjara ketika Prita Mulyasari dipasung di dalam penjara. Yesus pun berteriak bersama anak-anak korban trafficking yang menjerit ketakutan. Yesus ikut merasakan kehancuran yang dirasakan korban pemerkosaan dan pelecehan seksual. Lalu, apa tindakan gereja?

Apakah gereja akan berdiam diri melihat ketidakadilan itu? Mungkin saja, suatu waktu ketidakadilan itu akan menimpa jemaat Tuhan. Mungkin saja…. Mari bertindaklah… Mari bersuara…. Jangan bersembunyi! Lihatlah Tuhan yang kita anggap bersembunyi itu sebenarnya tidak pernah bersembunyi. 

Tidak ada komentar: