Selasa, 25 Oktober 2011

Ketika Dunia Menjadi Datar (Kembali)


     Siapa sich yang tidak tahu kalau bumi itu bulat? Ya, bumi itu bulat, kata ilmu eksak! Tapi, sebelum teori bahwa bumi itu bulat diluncurkan, banyak orang yang memahami bahwa bumi itu datar. Gereja pun meyakini bahwa bumi itu datar. Bahkan, penulis Injil Matius mencatat bahwa Tuhan Yesus mendorong kita untuk pergi menjadi saksinya sampai ke ujung bumi. Padahal kita tahu bahwa bumi tidak ada ujungnya bukan?
                Sekitar satu abad yang lalu, orang masih harus berlayar dari satu tempat ke tempat lainnya. Untuk mengirimkan kabar, orang harus berkorespondensi melalui surat yang dikirimkan via-pos atau bahkan dengan pos merpati. Di masa lampau, melihat keberadaan masyarakat yang ada di benua lain menjadi sebuah mimpi besar yang sangat sulit untuk diwujudkan. Perpisahan menjadi hal yang sangat menyedihkan karena rasanya sangat sulit untuk berkomunikasi dengan kawan yang harus pergi jauh. Bahkan pada satu dekade lalu, belum ada pager ataupun telepon genggam. Saya ingat, saya selalu mengirim kartu Natal kepada teman-teman lama saya via pos. Perlu waktu yang cukup lama untuk menerima balasan surat tersebut.
                Namun, bumi yang bulat itu, pada saat ini telah berubah menjadi datar (kembali)! Bumi sudah tidak lagi bulat. Saat ini bumi sudah datar! Mengapa? Dalam dekade terakhir ini, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan komunikasi membuat bumi seolah-olah menjadi datar kembali. Keberadan alat komunikasi yang canggih seperti telepon genggam, faksimile, dan internet memudahkan manusia untuk berkomunikasi.
Tentunya, perubahan ini memiliki dampak positif dan negatif. Dalam permenungan kali ini, saya mengingat ungkapan dari Paulus yang bunyinya, “Segala sesuatu halal bagimu, namun tidak semuanya berguna!” Saya ingin mencoba meneropong lalu menelisik masuk ke dalam perubahan dunia yang sangat cepat ini. Mari menjelajah di dalam dunia yang menjadi datar (kembali) ini! Mari menelisik apa yang berguna dari dunia yang menjadi datar (kembali) ini! Mari dengan jeli memilah mana yang halal namun tidak berguna dari perubahan ini!

Meneropong sisi yang halal dan berguna
Setidaknya dari lensa teropong saya, saya melihat ada dua sisi yang sangat halal dan berguna dari perkembangan teknologi dan komunikasi. Saya harap dua hal yang saya paparkan ini dapat membantu kita melihat bahwa teknologi juga memiliki dampak positif dalam kehidupan manusia.
Sisi positif yang pertama adalah bahwa perkembangan teknologi dan komunikasi telah membantu manusia untuk menjadi “satu”. Pernahkah anda berpikir bahwa orang yang Anda telepon atau yang Anda kirimi sms itu berada di tempat yang berbeda dan mungkin saja sangat jauh dengan Anda? Dengan andanya web camera, telepon, dan surat elektronik, semboyan “jauh di mata dekat di hati” sudah tidak berlaku lagi. Dengan adanya web-camera, sesorang yang jauh di sana, menjadi dekat di mata dan dekat di hati”.
Sisi positif yang kedua adalah perkembangan alat komunikasi, seperti internet,  membantu membantu kita untuk “thinking outside the box”. Pada saat ini, dengan sangat mudah manusia dapat “melihat” dunia dengan lebih mudah. Orang yang ada di belahan bumi Utara dapat melihat apa yang terjadi di belahan bumi Selatan (begitu pula sebaliknya) dengan sangat mudah. Misalnya saja ketika terjadi gempa bumi di Haiti dan Tsunami di Jepang, kita dapat mengetahuinya dengan cepat. Bantuan dari berbagai belahan dunia pun segera disalurkan untuk membantu para korban bencana alam. Dengan kata lain, teknologi dapat membantu manusia untuk bahu membahu menolong sesamanya, bahkan yang belum pernah ia kenal sekalipun.
 Kedua hal positif ini senada dengan yang dikatakan oleh Teilhard de Chardin. Menurutnya, teknologi dan komunikasi memberikan sebuah dampak positif bagi peradaban hidup manusia. Berkat teknologi dan komunikasi modern dunia semakin menjadi satu. Seorang paleontolog dan teolog asal Yesuit ini berharap bahwa melalui teknologi manusia akan menjadi satu dalam kehidupannya.
Harapan dari Teilhard ini sebenarnya menunjukkan bahwa manusialah yang memegang kendali atas teknologi, bukan teknologi yang mengendalikan manusia. Teknologi hanyalah sebuah alat bantu yang dampak dan fungsinya akan sangat tergantung dengan bagaimana manusia memanfaatkannya. Sampai di titik ini, teknologi masih disebut sebagai alat bantu yang memudahkan manusia. Namun, pada peneropongan terhadap dampak negatif dari teknologi, kita akan melihat bahwa teknologi dapat berubah. Ia tidak lagi menjadi sekadar alat bantu manusia, namun teknologi juga dapat “menghasilkan” pola hidup manusia. Manusia tidak lagi menggunakan teknologi, melainkan “diperalat” oleh teknologi.

Memilah sisi yang halal namun tidak berguna!
                Segala sesuatu halal bagimu, namun tidak segala sesuatu berguna! Teknologi halal bagi kita, namun tidak selamanya teknologi dapat berguna jika kita salah menggunakannya.  Mangunwijaya pernah mengatakan bahwa teknologi dapat menjadi tuan yang memperbudak manusia. Hati-hati, apakah sesuatu yang halal itu sudah menjadi “tuan” bagi Anda? Jika ya, berarti ia (teknologi) sudah menjadi sesuatu yang tak berguna bagi kita.
                Beberapa waktu lalu, vivanews pernah memuat berita tentang kematian seorang pemuda di China. Pemuda ini ditemukan tewas karena ia kecanduan bermain game on-line. Ia meninggal setelah tiga hari penuh bermain game on-line, tanpa makan da tidur. Sebelum meninggal pemuda itu mengaku menghabiskan 1.500 dolar AS untuk bermain game-online.
Berita di atas merupakan sebuah contoh yang sangat ekstrim dari penggunaan teknologi. Kita melihat bahwa secara tidak langsung, teknologi sudah menjadi tuan dari kita, sebagai manusia. Teknologi (baca: dalam hal ini game on-line) sudah menggeser keberadaan Tuhan, yang seharusnya mendapat tempat utama dalam kehidupan kita. Dalam kasus ini, manusia tidak lagi mempergunakan teknologi dengan tepat guna melainkan malah diperalat oleh teknologi.
Dalam titik tersebut, teknologi sudah menjadi candu bagi masyarakat dan membentuk pola sosial yang baru. Pada saat ini, di tempat-tempat umum, orang lebih memilih untuk bermain dengan telepon genggamnya daripada menyapa orang yang ada di sebelahnya. Beberapa waktu yang lalu, saya juga memerhatikan kebiasaan yang aneh. Banyak orang (khususnya dari golongan remaja) yang sering senyum-senyum sendiri di depan komputernya. Tampaknyachatting di situs jejaring sosial menjadi hal yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan berbicara di dunia nyata. Pola komunikasi yang seperti ini akan menghasilkan produk zaman yang kaku dan sukar untuk berinteraksi dalam masyarakat. Pola individualisme akan semakin berkembang jika kita tidak dapat mengendalikan dampak negatif dari teknologi itu.
Melalui internet, kita dapat mengakses berbagai informasi, mulai dari informasi penting hingga tidak penting, berguna dan tidak berguna. Pilihannya, lebih tertarik mengakses informasi yang seperti apakah Anda? Yang berguna dan membangun? Atau yang tidak berguna dan menghancurkan?
Gereja, sebagai persekutuan umat Allah, tidak dapat menarik diri dan mengutuk teknologi. Namun, yang dapat kita lakukan sebagai orang Kristen adalah mengendalikan diri kita dan memilah mana yang berguna dan tidak berguna. Ingat, semua halal namun tidak semuanya berguna. Jadi, permasalahannya adalah, bagaimana cara kita memanfaatkan teknologi itu? Apakah kita akan menjadikannya sebagai sebuah alat pelayanan, yang membantu kita sebagai pengikut Kristus untuk menjadi garam dan terang dunia? Atau apakah kita akan menjadikannya menjadi racun yang meracuni diri kita sendiri dan keberadaan alam semesta ini? Apakah kita akan memanfaatkan teknologi untuk membangun tali persaudaraan dan kasih antara kita dan kerabat yang tinggal berjauhan dengan kita, sehingga nyatalah bahwa teknologi dapat digunakan sebagai alat pelayanan yang kita gunakan untuk membangun dan kesatuan kepekaan di antara sesama manusia? Sudahkah kita membantu diri kita sendiri, anak, cucu, kakak, adik, dan rekan kita untuk menyadari bagaimana kita memanfaatkan teknologi? Mari merenungkannya dalam pengembaraan perjalanan kita dalam era teknologi tinggi.
Yesie

Tidak ada komentar: