Minggu, 12 Mei 2013

Spiritualitas Dalam Rapat (1): Si Pembidik

Saya suka memerhatikan toko makanan yang menjajakan kuenya dengan sangat apik. Kue-kue dipajang di etalase kaca dengan penataan yang apik. Sebagian datang ke sana untuk mencari makanan yang ia perlukan. Sementara itu, sebagian pengunjung lainnya memasuki toko itu karena tertarik dengan keindahan kue-kue yang dijajakannya. Namun, banyak pengunjung tidak tahu bagaimana dapur yang ada di sudut belakang toko kue itu. Mungkin saja, ada toko yang dapurnya rapi. Namun, ada juga toko yang dapurnya berantakan. Ada banyak tikus yang berkeliaran. Ada banyak kotoran binatang terselip di antara panggangan kue. Sayangnya, pengunjung tidak ada yang tahu. Yang tahu hanyalah si pemilik dan para pegawai di toko itu. Atau, si pengunjung yang kebelet dan menumpang ke toilet.
Saya mengibaratkan gereja seumpama toko makanan yang “cantik” tersebut. Tentu saja, pengibaratan ini masih dapat dikritisi.  Sebagian umat yang tidak terlalu aktif, dapat diibaratkan seperti pengunjung toko yang hanya melihat display kue-kue menarik yang ada di etalase toko. Sebaliknya, para pengurus dan anggota majelis jemaat adalah orang-orang yang mengetahui kondisi dapur gereja. Setidaknya, pengalaman inilah yang saya rasakan saat saya menjadi simpatisan pada saat remaja dulu. Orang di gereja tampak ramah dan suka tersenyum. Setiap hari Minggu, saya mendapat sapaan dari mereka. Saya tidak mengetahui –atau bahkan belum mau tahu-- kondisi dapur gereja.
Saya mulai menjumpai “dapur” toko yang berdebu, kotor dan penuh tikus sekitar 7 tahun lalu, yakni sejak saya memasuki dunia pelayanan gerejawi. Dapur yang berantakan ini saya jumpai ketika saya mengikuti rapat. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat dalam rangka merefleksikan spiritualitas dapur gerejawi  yang berantakan. Saya akan menuliskannya dalam empat seri (atau mungkin lebih). Ya, semoga saja saya konsisten dengan niat ini. Hehehehe….
 Spiritualitas seseorang tampak jelas ketika ia mengikuti rapat. Setidaknya ada berbagai tipe orang dalam rapat itu. Ada orang yang gemar mencari kesalahan seseorang ketika mereka menjumpai masalah di dalam rapat. Itu. Saya menyebutnya dengan sebutan si pembidik. Ada orang yang diam, tak bergeming walaupun keputusan yang diambil bertentangan dengan nilai-nilai yang Tuhan ajarkan. Saya menyebutnya dengan sebutan si kura-kura dalam perahu. Ada juga orang yang mendominasi pembicaraan dan ingin agar keinginannya dipenuhi. Saya menyebutnya dengan si pemangsa. Ada juga orang yang tidak konsisten dalam berkata-kata. Saya menyebutnya dengan istilah si lidah ganda. Dalam tulisan bagian pertama ini, saya hanya akan merefleksikan spiritulitas si pembidik.
Si pembidik, selalu muncul dalam setiap rapat, khusunya ketika ada sebuah permasalahan yang menyangkut kehidupan bergereja. Misalnya saja, di sebuah gereja pernah terjadi perdebatan mengenai pemakaian alat band. Remaja dan pemuda menginginkan adanya ruang dalam mengembangkan kreatifitas dalam musik di ibadah Minggu. Mereka menginginkan penggunaan alat band dan lagu-lagu kontemporer. Namun, ketika Majelis Jemaat mengadakan persidangan, mereka langsung menentang pemakaian alat band dan lagu kontemporer. Bagi majelis jemaat, hanya ada satu alat musik yang dapat digunakan yakni piano. Mereka berasumsi bahwa remaja dan pemuda ingin meninggalkan warisan tradisi musik gereja mereka. Tidak hanya itu, dalam rapat itu terjadi proses pencarian “siapa yang salah”. Mereka mulai mencari siapa yang salah. Mereka mulai menyalahkan penatua pendamping pemuda remaja hingga pendeta yang dianggap tidak dapat mendidik remaja.
Sayang sekali, poin utama dalam permohonan remaja ini tidak ditangkap. Persoalannya bukan semerta-merta bahwa remaja dan pemuda ingin meninggalkan warisan tradisi musik gerejawi dari gereja ini. Mereka hanya memerlukan ruang untuk mengembangkan kreativitas musik gereja. Padahal, soal kreativitas adalah hal yang luas. Dalam pemikiran saya, lebih baik mereka mencari solusi yang terbaik, ketimbang mencari siapa yang salah dan buru-buru mengatakan tidak. Tokh, pengembangan kreativitas juga dapat dikembangkan melalui musik etnik maupun kontemporer. Justru semangat ini harusnya ditangkap dan difasilitasi. Mengapa mereka tidak memfasilitasinya dengan menyediakan pelatih musik gereja yang handal? Mengapa hanya berkutat pada persoalan bidik membidik siapa yang salah.
Menurut saya, “roh pembidik” ini muncul karena sebuah keyakinan bahwa diri sendiri lebih baik daripada orang lain. Ada roh kesombongan yang menempel pada orang-orang yang saya sebut sebagai pembidik. Oh, kondisi ini sungguh menyedihkan! Di luar “toko” ini tampak rapi dan cantik, namun “dapur”nya dipenuhi keangkuhan hati yang semakin membusuk. Inilah wajah “toko” itu yang sesungguhnya. Inilah wajah gereja yang angkuh namun rapuh.
Diana Butler Bass dalam Practicing Theology mengatakan bahwa sikap "membidik" siapa yang bersalah adalah sebuah kegagalan dalam gereja untuk mengenali hal yang nyata dari konflik tersebut: “What if no one can be blamed? What if no one is at fault?” Banyak ketegangan dan konflik bukan terjadi karena orang-orang yang ada di dalam komunitas itu sendiri, melainkan terjadi sebagai hasil dari reaksi dan respons institusi terhadap perubahan budaya dan sosial --trend, ide, dan praktik di luar “gedung gereja”-- yang telah mempengaruhi kehidupan manusia. Tidak ada yang harus disalahkan karena perubahan kultur global ini bukanlah kesalahan siapa-siapa.
Kecenderungan mencari yang salah ini juga dijumpai ketika Yesus bercakap dengan murid-murid-Nya dalam Yohanes 9. Para murid-Nya mempertanyakan tentang siapa yang salah sehingga ada orang yang buta sejak lahirnya. Apakah dirinya sendiri? Ataukah orang tuanya? Pertanyaan ini muncul karena para murid merasa diri mereka sempurna dan tidak memiliki dosa. Belum lagi, dalam pemahaman yang berkembang pada saat itu, dikatakan bahwa seseorang yang memiliki kebutuhan khusus sejak lahirnya adalah orang yang berdosa.
Bagi saya, jawaban Yesus adalah jawaban yang out of the box. Ia tidak terjebak untuk menyalahkan seseorang. Jawaban-Nya adalah jawaban yang menyejahterakan dan membuat kita berpikir melampaui para pembidik ulung. Ia berkata bahwa apa yang diderita oleh orang tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan siapapun, melainkan supaya pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam diri si buta tersebut. Bukankah kita dapat merasakan nuansa positif dalam jawaban Yesus?
Seandainya, di dalam rapat maupun persidangan gerejawi para pembidik itu berpikir seperti Yesus, tentu saja tidak akan ada orang-orang yang terluka karena disudutkan. Seandainya para pembidik mau belajar dari Yesus, tentu saja gereja akan mengalami pembangunan jemaat dengan lebih pesat. Apa sich keuntungan dari menyalahkan orang? Mungkin saja, keuntungannya hanya pada kepuasan sesaat. Ah, entah dari mana budaya busuk saling menyalahkan ini tumbuh dan berkembang!

Tuhan kita tidak mengajarkan kita untuk saling menyalahkan. Menjadi pengikut Kristus berarti harus bersedia menanggalkan roh keangkuhan kita yang membakukan kita untuk menjadi si pembidik. Menjadi pengikut Kristus berarti harus berani berpikir di luar kotak dan melihat peluang perbaikan dari segenap masalah. Mari membenahi “dapur” gereja! Ya, tindakan membenahi itu dimulai dari mengubah diri kita dari si pembidik menjadi si pencari solusi. J

Jakarta, 12 Mei 2013
YIL


Tidak ada komentar: