Kamis, 27 Juni 2013

MARI “MENGACAUKAN BAHASA”!



Dalam gereja, ada berbagai macam kelompok mulai dari kategori usia, hobby hingga corak spiritualitas. Semuanya memang harus diwadahi dan mendapatkan ruang di dalam gereja. Biasanya, orang-orang yang sudah merasakan zona nyaman di kelompoknya, akan terus hadir untuk mengikuti setiap kegiatan di kelompoknya. Misalnya saja saya memerhatikan bahwa orang-orang yang datang ke kelompok meditasi adalah orang-orang yang sudah nyaman. Guru-guru Sekolah Minggu yang sangat setia berpuluh-puluh tahun mengajar di Sekolah Minggu dan disebut sebagai kakak. Pengurus komisi-komisi yang sudah sangat solid. Ini hanyalah sebagian contoh kecil, ada banyak contoh lainnya di dalam gereja yang dapat kita perhatikan.
Di satu sisi, kedekatan ini baik karena mereka memiliki ruang nyaman di dalam komunitasnya. Gereja menjadi rumah kedua, di mana mereka selalu nyaman untuk datang dan berbagi. Ada sukacita ketika berjumpa rekan-rekan dalam komunitasnya di dalam zona nyaman dan hangat. Di sisi lain, kedekatan ini dapat menjadi berbahaya ketika kedekatan ini tidak dikelola dengan baik dan berujung pada eksklusivisme. Virus eksklusivisme dapat membuat manusia menjadi sangat solid dalam kelompoknya, namun menjadi asing bagi orang atau kelompok lain.
Ketika merenungkan virus eksklusivisme yang berpotensi memecah gereja menjadi gereja-gereja kecil yang terpisah dan tidak terkoneksi satu sama lain, saya teringat dengan kisah penduduk yang membangun kota dan menara Babel. Kisah ini menjadi inspirasi bagi saya dalam memikirkan kondisi yang berpotensi (ataupun sudah)  menjadi masalah. Sebagai intermezo, saya sengaja tidak menggunakan frasa “menara Babel” untuk menghindari kelirumologi pemahaman bahwa TUHAN menghancurkan menara Babel.
Ada banyak orang yang menafsirkan tindakkan Tuhan mengacaukan bahasa penduduk Babel sebagai sebuah tindakkan penghukuman untuk menentang kesombongan dan arogansi penduduk Babel. Terlepas dari pengetahuan bahwa kisah ini adalah mitologi atau tidak, saya melihatnya sebagai hal yang lain. Menurut saya, tidak ada indikasi kesombongan dalam kalimat yang diucapkan manusia di ayat ke-3. Pertanyaan yang muncul dalam diri saya adalah, “Bukankah cita-cita manusia di Babel itu ingin bersatu supaya mereka tidak terserak di bumi? Lalu mengapa TUHAN menentang rencana untuk bersatu ini dan justru menyerakkan mereka dengan mengacaukan bahasa mereka? Apakah TUHAN menggunakan politik devide et impera?”
Dengan mengacu pada beberapa sumber tafsir, saya melihat tindakkan TUHAN ini sebagai tindakkan untuk mencegah dan meminimalisir kecenderungan ekslusivitas manusia yang lahir dari kelompok yang terlalu solid sehingga menjadi rigid. Bila kita memerhatikan, mitologi ini berasal dari Mesopotamia, bukan Palestina. Bisa jadi mereka belum berjumpa dengan kelompok lain. Apalagi, kalau kita memerhatikan perikop sebelumnya di pasal 10 yang berasal dari sumber yang berbeda dengan sumber kisah mitologi Babel, di ayat 5 dikatakan bahwa “keturunan Yafet masing-masing di tanahnya, dengan bahasanya sendiri, menurut kaum dan bangsa mereka.” Dalam konteks Mitologi sekalipun, sudah ada bangsa lain yang berbeda bahasa. Saya rasa, perjumpaan penduduk Babel yang diserakkan TUHAN dengan bangsa lain akan menimbulkan kesulitan dan kebahagiaan sendiri sebagai pengalaman perjumpaan dengan mereka yang berbeda. Mereka akan berjumpa dengan orang-orang lain setelah terserak ke bumi, walaupun kota itu berhenti dibangun. Mereka akan belajar  bergaul dalam keberagaman dan menikmati keindahannya, di luar kelompoknya yang mempunya tendensi untuk menjadi eksklusif.
 Kembali pada pergumulan “gereja-gereja kecil yang terpisah” itu, saya menjadi berpikir. Apakah kita perlu mengikuti teladan TUHAN untuk “mengacaukan bahasa”?
Dalam pengamatan saya, kelompok yang sudah solid memiliki bahasa kelompoknya sendiri yang mungkin tidak dipahami oleh orang lain atau kelompok lain. Yang paling mudah untuk diamati adalah pada remaja. Sebuah geng anak remaja memiliki bahasa simbolik sendiri yang tidak dipahami oleh kelompok lainnya. Ambil contoh, ketika saya praktik di salah satu gereja, ada sekelompok anak perempuan yang kalau bertemu bersama-sama menunjukkan symbol huruf L dan A melalui jari-jari tangan mereka. Saya terheran-heran apa itu “L A”? Apakah Los Angeles? Saya bertanya kepada mereka. Ternyata L A adalah singkatan dari Labil Alay, nama kelompok mereka.
Bahasa-bahasa kelompok ini tidak hanya dimiliki oleh kelompok remaja saja. Orang dewasa pun memilikinya dalam bentuk yang berbeda tentunya. Pada suatu kali, saya menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan salah seorang anggota pengurus wilayah. Saya bertanya, “Dari pengalaman Anda, menurut Anda mengapa orang enggan datang ke kegiatan yang dirancang wilayah?” Dia menceritakan pengalamannya. Dia mengaku bahwa dia belum lama tergabung menjadi pengurus wilayah. Awalnya, ia merasa tidak nyaman ketika masuk ke wilayah tersebut. Menurutnya, pengurusnya sibuk dengan percakapan dengan menggunakan bahasa di komunitasnya yang ia tidak pahami. Ia tidak nyaman. Menurutnya, hal ini juga yang dirasakan oleh anggota wilayah yang lain yang pertama kali datang. Dampaknya ada orang yang tidak merasa nyaman dan tidak mau lagi datang ke kegiatan wilayah. Namun, pribadinya yang cuek dan ingin melayani Tuhan membuat ia pun mencoba memahami bahasa kelompok tersebut.
Tidak semua orang seperti orang tersebut. Ada orang yang justru akan mundur setelah merasakan ketidaknyamanan itu. Oleh karena itu, saya terus bertanya, “Apakah kita perlu mengacaukan bahasa komunitas yang sudah solid?” Mungkin tidak seekstrim itu. Namun, rasanya perlu ada pembekalan bagi kelompok-kelompok yang sudah solid untuk “mengacaukan bahasa kelompok mereka sendiri” ketika berjumpa dengan pendatang yang baru dan komunitas di luar komunitasnya.
Bentuk konkret yang pertama adalah dengan melakukan pembinaan untuk berbahasa dengan “bahasa” yang digunakan oleh orang baru. Bukan mereka yang dipaksakan untuk memahami “bahasa komunitas” itu, tetapi kita lah yang menjemput bola untuk “memahami bahasa” mereka yang baru datang. Bukankah kita pun akan diperkaya dengan “bahasa” mereka yang baru datang? Bentuk konkret yang kedua adalah dengan membuat kelompok yang solid menjadi terserak dan berjumpa dengan kelompok lainnya. Beragam bentuk kebersamaan dapat digunakan untuk memfasilitasi proses “penyerakan” ini. Dengan penyerakan, kita akan berjumpa dengan kelompok lain sehingga kita merasakan kebahagiaan dalam perjumpaan dengan orang yang berbeda.
Mungkin dengan “mengacaukan bahasa” setiap kelompok yang bertendensi untuk menjadi eksklusif, orang yang baru datang tidak akan merasa menjadi orang asing di tengah bahasa yang tidak mereka mengerti. Mungkin dengan “mengacaukan bahasa” kelompok yang bertendensi menjadi eksklusif akan merasakan indahnya keberagaman untuk berbahasa dengan orang yang baru dan kelompok yang baru, tanpa harus meninggalkan kelompoknya yang lama. Mari kita “mengacaukan bahasa” bersama TUHAN!




 Jakarta, 28 Juni 2013
YIL

1 komentar:

Fuye mengatakan...

tulisan yang sangat menarik
setuju sekali untuk "mengacaukan bahasa"
karena dengan "kacaunya bahasa", komunitas bisa lebih cair. Tidak ada geng2an di dalam pelayanan maupun di gereja secara umum