Majalah Tempo
edisi 3-9 Juni 2013, memberikan pernyataan yang menarik tentang figure Yap
Thiam Hien. Yap Thiam Hien mendapatkan gelar minoritas dalam tiga lapisan:
Cina, Kristen dan jujur. Pernyataan di majalah Tempo ini menarik karena orang
yang jujur dimasukkan ke dalam kategori minoritas. Pada masa kini, orang yang
jujur mungkin termasuk pada kategori “langka”. Manusia terjerat untuk menukar
kejujuran –yang menunjukkan integritas pribadinya—dengan gelimang harta,
kedudukan, kekuasaan, nama baik, dan tawaran menggiurkan lainnya.
Dalam perjalanan ke tanah Papua beberapa waktu yang lalu,
saya menjumpai seorang mutiara hitam Kristen yang jujur. Dengan penuh kejujuran
dan keberanian, alumnus dari salah satu perguruan tinggi di Surabaya ini berani
menyatakan kebenaran. Ia berani mengkritisi para penguasa dari tanahnya sendiri.
Ia mengkritisi saluran yang meraup alokasi dana yang seharusnya dinikmati oleh
masyarakat Papua di pedalaman. Dalam sebuah perjumpaan antara para penguasa dengan
perwakilan lembaga internasional yang memberikan bantuan dana bagi masyarakat
Papua di pedalaman, dengan lantang ia berkata, “Kalian salah memberikan dana
kepada orang-orang ini. Dananya mereka pangkas sehingga masyarakat di pedalaman
tidak merasakannya. Desa-desa tetap tidak dibangun. Pendidikan minim dan
pelayanan kesehatan sangat buruk”
Sebagai
upah dari tindakannya, mutiara hitam ini dibuang selama lima tahun ke desa
Sanfarmun, kecamatan Soukorem Papua Barat. Desa ini dianggap sebagai desa yang
terisolasi, karena akses transportrasi menuju ke sana sangat sulit. Pada saat saya menuju ke
sana bersama dengan rombongan GKI Kayu Putih, kondisinya memang tidak begitu
baik. Tidak ada tenaga medis di sana. Hanya ada seorang kepala sekolah di sana
dan mungkin satu hingga dua orang guru lainnya. Entah bagaimana kondisi yang
harus dihadapi oleh putra daerah ini beberapa tahun yang lalu pada saat ia
ditugaskan di desa itu. Mungkin saja kondisinya lebih buruk.
Dalam “pembuangannya”,
Ia ditugaskan untuk menjadi mantri selama lima tahun di desa itu. Dengan penuh
keberanian, ia menanggung akibat dari integritasnya sebagai manusia yang jujur,
yang tak dapat dibeli oleh uang. Yang menarik, ia dapat menikmati hidup bersama
dengan masyarakat di tempat pembuangan itu. Ia menata dan mengusahakan
kesejahteraan desa tersebut. Ia mendidik masyarakat di Sanfarmun agar tidak
mengalami ketergantungan pada suplay beras bulog. Sayangnya, waktu lima tahun
memang belum cukup untuk membuat masyarakat untuk menjadi mandiri. Tampaknya,
perlu orang-orang yang memiliki cinta yang besar untuk melayani di sana dalam
rentang waktu yang lebih lama.
Di akhir
percakapan dengan saya, ia mengatakan untaian kalimat yang membuat saya tersentak.
Saya merasa Tuhan berbicara kepada saya melalui orang ini. Ia mengatakan, “Walaupun
mereka membuang ke tempat ini, saya tetap bertahan. Saya bertahan karena saya
hidup untuk Tuhan, bukan untuk penguasa. Tuhan yang memberikan kehidupan kepada
saya, untuk apa saya kuatir.” Terima kasih mutiara hitam yang telah memberikan
inspirasi bagi saya tentang arti integritas melalui kejujuran dan keberanianmu.
Wajah Allah sungguh nyata dalam dirimu.
Jakarta, 17 Juli 2013
YIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar