Kamis, 12 September 2013

Traveling bersama Yesus Sang Penyintas (Matius 2:13-23)


Banyak orang yang menyukai traveling. Mereka berpergian kian kemari. Mereka menikmati berbagai tempat baru dan berjumpa dengan orang baru dalam perjalanan mereka. Mereka mungkin saling berhospitalitas dengan berbagai penduduk lokal dalam perjalanan mereka. Namun, aku tidak menyukai traveling! Badanku gemetar dan kepalaku pening setiap kali mendengar kata itu disebut. Hatiku menciut dan bersembunyi di balik tubuhku yang bertopengkan kegagahan saat melakukan traveling.
Aku dan keluarga mungilku –istri dan anakku-- dipaksa untuk melakukan sebuah traveling yang traumatik. Kami dan kaum bangsaku harus mengadakan perjalanan menuju Mesir sebagai seorang pengungsi. Seluruh traveling ini terpaksa kami lakukan karena kekejaman para penguasa Romawi  yang memerintah di zamanku.
Pertama, kami dipaksa untuk mengadakan traveling dalam kondisi kehamilan besar istriku hanya demi sebuah sensus pajak!  Kedua, kami terpaksa melakukan traveling lagi menuju Mesir karena pembunuhan kejam terhadap anak-anak berusia dua tahun ke bawah. Pembunuhan itu dilakukan oleh Herodes dan para penasihatnya, sekelompok penguasa yang diracuni oleh virus ketakutan dan ketamakan akan kuasa. Ia takut takhtanya direbut oleh anak kecil yang berumur di bawah dua tahun ke bawah (Joerg Rieger, 2011: 37).
Oh sungguh! Aku, keluargaku dan orang-orang pada zamanku hidup dalam suasana traumatik yang mengerikan. Jeritan anak-anak kecil yang tak bersalah terdengar karena mereka dipaksa meregang nyawa di usia yang dini. Pedang yang tajam ditancapkan oleh para prajurit suruhan itu ke tubuh mungil anak-anak kecil itu. Darah yang mengalir dari tubuh anak-anak itu semakin memperkeras jeritan pilu para orang tua. Raungan kepedihan terdengar tanpa henti. Air mata menetes deras di pipi para korban dan kerabat yang menjadi penyintas. Orang tua mana yang tak sedih ketika harus melihat anak-anaknya berpulang terlebih dahulu. Selama setahun penuh, dalam masa perkabungan itu, para penyintas yang kehilangan anak-anaknya merintih dan menghindari perayaan-perayaan pesta. Abu dan kain kabung mewarnai hari-hari mereka (W.f Browning 2008, 4).
Aku bertanya kepada Allah? Di manakah Engkau dalam tragedi itu? Apakah Engkau bersembunyi dan membiarkan kekejaman itu terjadi? Di mana Allah yang penuh kasih dan kepedulian itu? Di mana Allah yang Maha Kuasa yang dapat menghentikan kekejaman dalam sekejap mata?
Kisah traumatik itu tetap tersimpan di dalam hatiku. Kejadian tersebut menghantui aku dan keluarga kecilku di kala siang dan malam. Aku masih merasa takut paska peristiwa itu. Aku tidak tahu bagaimana aku harus bertahan dan mengakhiri traveling yang penuh dengan trauma ini. Ingatan itu tidak mungkin terkikis dan menjadi kabur. Sebenarnya, ada kerinduan dalam diriku untuk kembali ke kampung halamanku. Namun, kerinduan itu bercampur baur dengan ingatan akan kekejaman Herodes.
Pergolakan antara ketakutan dan kerinduan untuk kembali pulang menjadi semakin menjadi-jadi saat malaikat itu datang dalam mimpiku. Ia memintaku untuk membawa istri dan anakku untuk melakukan traveling kembali ke Israel.  Seluruh tubuhku gemetar. Keringat tiba-tiba mengucur dari tubuhku. Menurut istriku, wajahku menjadi pucat pasi. Apalagi, aku tahu bahwa Arkhelaus yang lebih kejam dari Herodes kini duduk di tahta menggantikan ayahnya yang telah tiada (Stefan Leks, 2003: 55-57).
Akhirnya, dalam sebuah mimpi aku disuruh membawa keluargaku untuk melakukan traveling yang selanjutnya ke Nazaret, sebuah kota kecil yang tak semarak di daerah Galilea. Setibanya di Nazaret, aku memandang ke arah Yesus, anakku yang semakin bertumbuh besar. Aku mengingat peristiwa kelahiran-Nya yang ajaib. Aku terngiang akan ketakutan Herodes terhadap anakku, anak yang masih mungil ini.
Tiba-tiba di dalam batinku terlintas peristiwa Keluaran bangsa Israel yang dikisahkan turun temurun itu. Entah mengapa, aku tiba-tiba menghubungkan traveling yang kami alami dengan peristiwa Keluaran. Dalam kisah Keluaran, tidak ada seorangpun yang akhirnya dapat pulang ke tanah terjanji itu. Mereka meninggal dunia sebelum kembali ke tanahnya, termasuk Musa pemimpin bangsa Israel itu. Hanya Yesus, anakku yang beranjak dewasa ini yang berhasil menjadi penyintas yang kembali ke Israel (Stefan Leks, 2003: 55-57).
Aku kembali memandang wajah anakku Yesus yang sedang tersenyum ke arahku. Pertanyaanku beberapa tahun silam mengenai keberadaan Allah di dalam peristiwa pembunuhan anak-anak itu pun terjawab. Di dalam diri Yesus, Allah hadir dalam ruang-ruang trauma. Allah ada bersama-sama dengan para pengungsi di Mesir yang meratap karena peristiwa mengerikan itu. Allah memang sedang tidak menunjukkan kemaha-kuasaan-Nya. Sebaliknya, Allah menjadi penyintas di dalam diri Yesus yang turut menjadi penyintas dalam peristiwa itu. Anak inilah yang memberikan kekuatan bagiku, bagi istriku Maria dan bagi para penyintas lainnya.
Aku tersadar bahwa kita adalah orang-orang yang akan terus melakukan traveling hingga ajal menjemput kita. Pengalaman traumatis dalam traveling hidup ini mungkin akan kita jumpai dan mungkin sukar kita elakkan. Peristiwa traumatis akan tetap ada dalam memori dan mungkin tidak hilang seutuhnya. Namun, aku dan para penyintas lainnya tidak akan takut lagi untuk ber-traveling bersama Yesus, Sang Penyintas sampai ajal menjemput kami.
Kami akan tetap menjalani hidup dengan penuh pengharapan karena Anak itu adalah Allah yang menemani kami sebagai penyintas. Ia mampu memulihkan kita dan memberi pengharapan kepada kita. Aku merasa anakku Yesus kelak akan menjadi penyaksi dan pembela bagi orang-orang yang mengalami trauma, seperti yang Ia alami di masa kecil-Nya. Aku pun yakin bahwa Ia akan mengubah ketakutan-ketakutan kita --para penyintas peristiwa G30SPKI-- yang muncul karena pengalaman traumatis di dalam traveling itu menjadi keberanian untuk menolong orang-orang lain yang juga mengalami trauma.

Konteks           : penyintas peristiwa G30SPKI.
Ketika menentukan konteks, saya terinspirasi dari novel Pulang, karya Leila S. Chudori. Novel ini menceritakan tentang orang-orang yang mendapat diskriminasi karena salah satu anggota keluarganya dituduh sebagai anggota PKI. Orang-orang ini harus berpergian dari satu tempat ke tempat lainnya agar tidak mendapatkan siksaan. Sebagian dari mereka cenderung menutupi identitas dirinya agar tidak mendapatkan diskriminasi. Mereka menjauhi pentas percaturan demokrasi dan politi. Akan tetapi, anomali terjadi pada seorang pemuda yang bernama Alam Sagara. Ia yang menjadi penyintas setelah melihat bapaknya dibunuh, kini menjadi aktivis HAM yang menolong orang-orang lainnya yang hidup dalam penindasan pada era Soeharto.

Jakarta, awal September 2013
YIL
Bibliografi
Chudori, Leila S. 2012. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Rieger, Joerg. 2011. Traveling. Minneapolis: Fortress Press
Leks, Stefan. 2003. Tafsir Injil Matius. Yogyakarta: Kanisius

Browning, W.R.F. 2008. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia 

Tidak ada komentar: