“Kiranya persembahan ini.....
.... dapat
digunakan untuk memperlebar Kerajaan-Mu....
...Amin.”
Pernah mendengar doa semacam ini? Saya sering mendengar
doa semacam ini diucapkan pada saat doa persembahan. Dengan malu-malu, perlu
saya akui bahwa saya dulu juga mengucapkan doa semacam itu.
Oleh karena itu, pertama-tama tulisan ini ditulis sebagai
sebuah seni menertawakan diri sendiri, seraya mengingat apa yang dilakukan oleh
Alm. Gus Dur yang senantiasa mengasah kemampuannya untuk menertawakan dirinya
sendiri. Dengan menertawakan diri sendiri kita akan menjadi lebih bijak dalam
melangkah ke depan. Tanpa kemampuan menertawakan diri sendiri, kita akan
terpenjara dalam kesombongan diri sehingga tidak akan ada kemajuan yang dicapai.
Kedua, tulisan ini ditulis sebagai sebuah catatan kritis
atas percikan “teologi popular”[1] yang berkembang di ranah
jemaat. Perlu diakui bahwa teologi popular tidak selamanya buruk. Yang saya
kritisi di sini adalah teologi popular tentang Kerajaan Allah yang sifatnya
sporadis dan memberikan dampak buruk dalam cara pandang umat terhadap misi
Allah. Tulisan ini hanyalah sebuah trigger
dan belum menjadi kajian yang mendalam. Oleh karena itu, saya mendorong pembaca
(dan diri saya!) untuk melakukan kajian yang lebih mendalam atas percikan
pemikiran ini. J
Menertawakan Diri Sendiri: Apakah Aku Pendoa yang Latah
atau Pendoa yang Ekspansif?
Saya pernah membuat semacam observasi kecil-kecilan pada
para katekisan yang saya ajar. Saya meminta mereka untuk menuliskan doa
persembahan. Yang menarik dari riset kecil-kecilan ini adalah isi doanya
relatif serupa. Ada unsur ucapan syukur dan juga permohonan kepada Tuhan agar
mereka dapat menggunakan uang persembahan tersebut untuk pelebaran Kerajaan
Allah.
Setelah membaca doa itu, saya
bertanya pada mereka. Apa maksudnya “pelebaran Kerajaan Allah”? Mengapa mereka
mengucapkan kalimat itu? Jawaban para katekisan beragam. Anggaplah
jawaban-jawaban ini merupakan sebuah potret saja, bukan representasi dari
seluruh jawaban umat.
Ada katekisan yang berkata bahwa ia
sebenarnya tidak mengerti apa yang ia ucapkan dalam doa itu. Ia tidak mengerti
makna “pelebaran Kerajaan Allah”. Ia hanya menuliskan dan mengucapkan apa yang
biasa ia dengar saat ibadah minggu. Saya tersenyum --seraya menertawakan diri
sendiri-- ketika mendengar jawaban ini karena saya pun dulu begitu. Kita
terjebak dalam pola latah berdoa. Doa sudah menjadi hafalan dan latahan yang
tidak keluar dari pergumulan batin, tanpa pemaknaan yang mendalam. Mimikri
tanpa refleksi menjadi kalimat kunci dalam sikap latah berdoa ini.
Mempertimbangkan Ulang Konsep (Pelebaran) Kerajaan
Allah
Di samping orang yang latah berdoa,
ada juga katekisan yang memiliki mental ekspansi. Dia memaknai “pelebaran
Kerajaan Allah” sebagai suatu upaya untuk mengkristenkan dunia ini. Kerajaan
Allah dimaknai sebagai gereja dan atau denominasi gereja tertentu. Pemahaman
seperti ini dapat berdampak pada mentalitas pekabaran Injil yang merujuk padas
ekspansi. Menurut saya, kita harus mengkaji ulang pemahaman tentang Kerajaan
Allah itu.
Menurut saya, konsep Kerajaan Allah tidak dapat
diidentikan dengan gereja, walaupun keduanya memiliki keterkaitan. Kerajaan
Allah tidak sama dengan gereja. Pengidentikan konsep Kerajaan Allah dengan
gereja berekses pada sebuah pemahaman extra
ecclesiam nula salus (di luar gereja tidak ada keselamatan). Pemahaman
semacam ini, menurut saya merupakan warisan dari superioritas kekristenan yang
memuncak pada masa kolonial dengan semboyan 3G (Gold, Glory, Gospel).
Dengan meminjam pemikiran Focault tentang konstruksi
sudut pandang historis oleh penguasa.untuk tujuan tertentu, saya menduga-duga
bahwa cara pandang tentang pelebaran kerajaan Allah adalah warisan historis
zaman kolonial yang kita telan mentah-mentah. Tidak ada proses perenungan ulang
dan pendedahan terhadap makna doa yang menjadi hafalan itu.
Oleh karena itu, marilah kita mempertimbangkan ulang
konsep Kerajaan Allah itu. Kerajaan Allah bukanlah sebuah wilayah yang dapat
dipersempit atau diperlebar. M. Amaladoss, dalam Meniti Kalam Kerukunan, mengatakan bahwa Kerajaan Allah adalah
lingkungan kehadiran Allah. Bagi saya, Allah tidak hanya hadir di dalam dinding
gereja. Allah hadir dalam dunia ini. Dengan demikian, memperlebar dunia adalah
suatu hal yang absurd.
Kerajaan Allah dapat dipahami juga sebagai realitas
eskatologis yang sudah hadir dan akan digenapi nantinya (Markus 9:1). Kerajaan
Allah bukanlah sebuah realitas yang jauh di awang-awang. Kerajaan Allah sudah
hadir melalui Kristus yang menghadirkan keadilan, kedamaian dan keutuhan
ciptaan. Oleh karena itu, kita juga tidak boleh terjebak dalam khayalan masa
depan tanpa berbuat apa-apa. Kita harus berbuat sesuatu seraya menanti-nantikan
pemenuhannya.
Pusat pelayanan gereja adalah turut membangun Kerajaan
Allah, bukan memperluas! Kerajaan Allah ada di dunia ini sehingga jangkar
pelayanan misi gereja adalah pada pelayanan terhadap dunia ini. Oleh karena itu
dalam refleksi singkat ini saya mengajak untuk menelisik ulang doa kita.
Mungkinkah kita memperlebar Kerajaan Allah (baca: dunia)? Saya rasa tidak. .
[1] Terminologi teologi
popular saya pinjam dari terminologi yang dipakai saat Konven Pendeta GKI
Klasis Jakarta Barat tahun 2010. Teologi
popular didefinisikan sebagai pemikiran teologi yang sporadis (terlepas satu
sama lainnya) dan kontraktual (terikat demi tujuan atau kepentingan tertentu).
Teologi popular dapat ditemukan dalam berbagai doa-doa yang diucapkan jemaat,
pemikiran umat pada saat rapat, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar