Hal yang paling mengesankan bagiku di setiap pengujung masa
praktik di jemaat adalah ketika berjumpa dengan mereka yang secara ekonomi
tergolong kurang mampu, namun begitu memperhatikan saya. Hal ini bukan kualami
sekali saja, tapi kualami berkali-kali. Dalam tulisan ini, aku akan
menceritakan dua pengalamanku berkaitan dengan hal ini. Anggaplah ini hanya
sekadar corat-coret di akhir masa praktik.
Beberapa bulan lalu, saat saya mengakhiri masa praktek di
Surabaya, hadiah pertama yang saya dapatkan adalah dari seorang nenek tua renta
yang tidak punya rumah. Dia menelepon HP saya dari telepon umum dan mengatakan
bahwa ia menitipkan sebuah bingkisan untuk saya di pos satpam. Saya turun dan
mengambil hadiah darinya. Dia memberi sebuah taplak. Taplak yang tampaknya
sudah lama ia simpan. Saya tidak menilai barangnya, tapi saya sangat tersentuh
dengan apa yang ia lakukan. Saya tahu tidak mudah baginya untuk pergi ke gereja
dan menitipkan kado itu untuk saya. Dia harus berjalan sangat jauh dari rumah
kosnya dengan kondisi kaki yang pincang.
Pagi ini, di penghujung masa praktikku di Temanggung,
seorang laki-laki tua, datang ke pastori. Dia rupanya sudah mencari saya sejak
hari Minggu yang lalu, namun ia tidak dapat menjumpai saya. Dia sudah memperhatikan
saya sejak saya pertama datang ke sini. Dia datang membawa sebuah bungkusan. Dari
bungkusnya, saya menebak bahwa yang ia ingin berikan pada saya adalah sebuah
buku karena dia tahu saya senang membeli buku. Saya sedih karena di dalam
keterbatasannya, dia menyisihkan uangnya untuk membelikan sebuah buku untuk
saya.
Mungkin akan ada pengalaman-pengalaman lain seperti ini
yang akan menyusul (pe-de banget deh gw!).
Namun, bagi saya pengalaman-pengalaman ini mengingatkan saya akan dua hal.
Pertama, perhatikanlah mereka yang benar-benar membutuhkan uluran tangan kita.
Sejauh mana program-program gereja diarahkan pada mereka yang tak mampu. Cintailah
mereka dengan segenap hati kita. Lakukanlah yang terbaik untuk mereka, seperti
untuk Tuhan. Kedua, pancarkanlah ketulusan seperti mereka yang telah
memancarkan ketulusan di dalam keterbatasannya. Dari merekalah aku belajar
tentang arti ketulusan dan kasih. Kiranya para pemimpin juga belajar untuk
menjadi pemimpin yang tulus dan penuh kasih seperti mereka. Janganlah menjadi pemimpin yang bertangan besi seperti zombie. hehehehe....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar