I.
Beberapa Percikan Peristiwa
Percikan
Peristiwa 1
Pada
tanggal 27 Februari 2012, Usman, seorang warga di Palembang, ditangkap oleh
polisi karena telah membunuh. Yang ia bunuh adalah mertua perempuannya. Ia
membacok kepala ibu mertuanya yang sedang tidur dengan menggunakan golok yang
dibawanya. Dari hasil pemeriksaan polisi, diketahui bahwa motif pembunuhan yang
dilakukan Usman adalah karena dendam kesumat. Usman jengah karena martabatnya
direndahkan oleh pihak keluarga istrinya. Berita ini dilansir dari www.indosiar.com.
Percikan
Peristiwa 2
Niko
Kili-kili, seorang mantan ketua preman yang sempat membuat keributan di Tanah
Abang Jakarta, terlahir dari sebuah keluarga broken home. Ayahnya yang adalah seorang pengacara menikah dengan
beberapa orang perempuan. Sejak kecil, ayahnya berkata padanya, “Jika kamu
masuk penjara karena menghamili anak orang ataupun memakai narkoba, Papa tidak
akan melepaskanmu dari penjara. Jika hendak melakukan kejahatan, bunuh saja
orang sekalian! Papa akan membelamu dan membebaskanmu dari penjara.” Niko
kili-kili tak dapat menemukan keluarga yang inspiratif dalam hidupnya. Saat
dewasa, ia membunuh. Ia bermain judi. Ia menjadi pecandu narkoba.
**************
Saya mengawali tulisan ini dengan kutipan yang sangat destruktif.
Memang, tampaknya kutipan ini berada dalam titik ekstrim (baca: keluarga yang
hancur dan rapuh). Namun, saya ingin menghindari kesan generalisir. Memang
perlu diakui bahwa tidak selamanya hubungan mertua dan menantu yang retak
berujung dengan sebuah golok. Tidak selamanya juga, seorang anak yang berasal
dari keluarga broken home menjadi
anak yang brutal. Namun, melalui percikan-percikan peristiwa ini, saya ingin
menyampaikan sebuah pesan bahwa keluarga tetap memiliki peran yang penting bagi
masing-masing anggotanya dalam mengarungi samudera hidup ini.
II.
Pengaruh Keluarga terhadap Kepribadian Anggota
Keluarganya
Kontak sosial yang pertama terjadi dalam keluarga. Zdanowics,
Pascal dan Reynart (2004) melakukan studi banding terhadap 814 orang remaja
yang tidak bermasalah dengan 358 remaja yang mengalami gangguan psikologis
dengan menggunakan kuesioner Oslon (kuesioner yang digunakan untuk melihat
bagaimana kondisi keluarga seseorang). Dari hasil penelitian itu, diperoleh
kesimpulan bahwa remaja yang tidak bermasalah tumbuh di lingkungan keluarga
yang adaptif dan memiliki interaksi yang baik. Sementara itu remaja yang
mengalami gangguan psikologis tumbuh di lingkungan keluarga yang berantakan (baca:
tercerai berai) dan kaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga
mempunyai peluang untuk menjadi sumber inspirasi atau menjadi sumber destruksi
bagi anggotanya.
Dalam Alkitab, kita juga melihat kisah beberapa tokoh
Alkitab yang hidupnya berantakan karena kehidupan keluarganya yang tidak memberikan
inspirasi. Menurut saya, prahara rumah tangga Daud yang berselingkuh dengan
Batsyeba secara tidak langsung memberi dampak pada kehidupan keluarganya.
Keluarganya hancur berantakan. Tamar, anak perempuannya diperkosa oleh Amnon,
saudaranya sendiri. Selanjutnya Amnon dibunuh oleh Absalom, kakak kandung
Tamar.
Sebaliknya, kita juga dapat
menemukan keluarga yang inspiratif dalam kehidupan keluarga Timotius. Ia
dididik dalam cinta kasih Kristus oleh ibunya Eunike dan neneknya Louis (2 Timotius
1:5). Keluarga menjadi lokus disemainya benih-benih Injil dalam diri anak. Oleh
karena itu, pada saat Timotius dewasa, ia bertumbuh menjadi pemimpin yang teguh
dan mengasihi Tuhan.
Dari pemaparan ini, sudah sangat
jelas bahwa kehidupan keluarga kita pun berpengaruh terhadap pertumbuhan psikis
dan iman masing-masing anggota keluarga. Pertumbuhan kedewasaan psikis dan iman
tidaklah terbatas. Psikis dan iman dapat terus bertumbuh sampai kita berada di
dalam titik akhir kehidupan. Pribadi-pribadi yang bertumbuh dalam keluarga yang
inspiratif tentu saja akan mewarnai kehidupan di lokus yang lebih luas (baca: gereja
dan masyarakat). Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh Horminghausen
dan Enklaar -teolog di bidang pendidikan Kristiani-. Mereka berkata bahwa kehidupan
bergereja pun akan semakin sehat jika anggota-anggota jemaat hidup dalam
keluarga yang sehat dan inspiratif. Oleh karena itu, marilah kita membangun
keluarga Kristen yang inspiratif dan bukan keluarga yang destruktif!
Pertanyaannya bagaimana membangun iklim keluarga yang inspiratif?
III.
Keluarga yang Inspiratif:
Menjadikan
Tuhan sebagai Dasar keluarga
Keluarga Kristen harusnya menjadi gambaran dari keluarga
Allah. Peristiwa kehadiran Yesus dalam perkawinan di Kana menunjukkan
kepedulian Allah terhadap keluarga. Keluarga Kristen harus membangun dasar
kehidupan berkeluarganya di atas dasar Kristus. Keluarga yang berjangkar pada
Kristus menjadikan kehidupan Kristus sebagai teladan bagi keluarga kita untuk
mengarungi hidup ini. Setiap anggota keluarga meneladani kasihNya, kerelaanNya
untuk berkorban, kesetiaanNya, ketulusanNya dan perhatianNya. Sebaliknya, jika
kita membangun kehidupan keluarga di atas hasrat keegoisan masing-masing
anggota keluarganya, maka kita sedang membangun di atas pasir yang rapuh, dan
bukan di atas batu karang (band. Mat 7:24-27).
Membangun di atas batu karang berarti menjadikan Kristus
sebagai fondasi bagi kehidupan keluarga. Hal ini bukan berarti bahwa tidak akan
ada badai hidup yang menimpa keluarga kita. Badai hidup, masalah, dan godaan
akan tetap ada. Namun, cara menghadapi badai pada keluarga yang membangun
dasarnya di atas Kristus tentunya akan berbeda dengan cara menghadapi badai
pada keluarga yang membangun dasarnya di atas pasir. Keluarga yang berakar pada
Kristus akan menjadikan Kristus sebagai sumber pertolongan dan kekuatan.
Keluarga yang berakar pada Kristus akan mencari solusi yang sejalan dengan
kehendakNya.
Mempererat
komunikasi di antara anggota keluarga
Ada banyak kesalah-pahaman yang terjadi di dalam keluarga.
Suami merasa istri hanya mementingkan dirinya, demikian sebaliknya. Anak-anak
merasa orang tua tidak mengerti harapannya, demikian sebaliknya. Padahal, di
dalam hati masing-masing anggota keluarga, ada benih-benih kasih untuk saling
memperhatikan. Namun, yang sering terjadi adalah perhatianku untukmu tidak
dimengerti sebagai pengertian olehmu, demikian pula sebaliknya. Oleh karena
itu, dalam kehidupan berkeluarga kita perlu mengubah persepsi kita. Berpikirlah
untuk keutuhan dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga.
Kesalah-pahaman ini sering terjadi karena kurangnya
komunikasi. Pada saat ini, kehidupan keluarga Kristen sudah dirasuki oleh
perkembangan teknologi yang menyuburkan individualisme. Setiap makan di rumah
makan, saya sering memperhatikan pola komunikasi di antara keluarga-keluarga
yang makan bersama. Mereka memang duduk dalam satu meja makan. Namun, mereka
memiliki dunia yang berlainan. Masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya
masing-masing. Tidak ada percakapan di antara anggota keluarga itu. Mereka
tersenyum atau cemberut sendiri, sambil menatap telepon genggam.
Pola komunikasi yang seperti ini membuat jarak yang dekat
pun menjadi semakin jauh. Anak dan orang tua menjadi orang asing yang tidak
saling mengenal dengan baik. Tidak ada kehangatan dalam keluarga. Akibatnya,
kesalah-pahaman pun sering terjadi. Saya berpendapat bahwa setiap keluarga
harus membuat perjanjian bersama untuk saling memperhatikan keberadaan
masing-masing, serta menyimpan telepon genggam pada saat kebersamaan keluarga.
Masing-masing keluarga juga perlu mengadakan persekutuan doa keluarga, walaupun
persekutuan doa sangat sulit untuk dilakukan mengingat kesibukan masing-masing
anggota keluarga dalam kehidupan keluarga di kota besar.
IV.
Ah, keluargaku sudah terlanjur kacau!
Jika memang pada saat ini kehidupan keluarga kita berada
dalam titik rapuh dan menjurus ke arah destruksi, bukan tidak mungkin kita
mengolah sesuatu yang destruktif menjadi inspiratif. Selalu ada harapan di
dalam kekelaman. Niko Kili-Kili, dalam Percikan
Peristiwa ke-2 pada bagian tulisan
di awal tadi pun akhirnya dapat bertobat dan mengampuni ayahnya. Hidupnya
dipulihkan. Ia membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan. Ia bertobat dan ia
berubah menjadi seseorang yang begitu mencintai istrinya. Ia tidak mau istrinya
merasakan apa yang dialami oleh ibunya dulu. Selalu saja ada harapan untuk
memutuskan rantai destruktif yang sudah membelit keluarga kita.
Di dalam Alkitab, kita dapat menjumpai banyak tokoh yang
akhirnya dapat berdamai dengan pengalaman pahit di dalam keluarganya. Esau dan
Yakub yang hidup dalam ketegangan karena favoritisme yang dilakukan oleh orang
tuanya pun pada akhirnya dapat berdamai kembali. Tuhan meretas cinta kasih yang
melunturkan kemarahan di dalam dua saudara ini. Mereka berdua pun akhirnya dapat
berdamai. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan dan bercium-ciuman (Kejadian
33:4). Kisah perdamaian antara Esau dan Yakub ini tentunya dapat menjadi
inspirasi bagi keluarga yang berada di ambang kehancuran, untuk kembali lagi
merekatkan bejana yang retak.
Selamat mengusahakan keluarga yang inspiratif. Di dalam
Kristus selalu ada harapan untuk mengubah keluarga yang destruktif menjadi
inspiratif.
YIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar