Jumat, 23 November 2012

Imajinasi Pelenyap Kesepian




The world’s greatest tragedy is unwantedness,
The world’s greatest disease is loneliness
Mother Teresa


Apa itu kesepian? Kesepian adalah sebuah perasaan mengerikan yang dapat menghancurkan kita. Ya, perasaan ketika kita merasa merindukan sesuatu atau seseorang, namun kita merasa bahwa tidak akan ada orang yang merindukan, memahami dan mempedulikan kita. Namun, kesepian tidak sama dengan kesendirian. Aku senang menyendiri, namun aku tidak merasa sepi. Namun, di tengah keramaian aku dapat merasakan kesepian. Ya, kesepian tidak selalu hadir dalam kondisi sunyi, tanpa suara. Ia dapat mencengkrammu dalam keramaian ketika bising knalpot motor dan mobil menunjukkan kegagahannya. Begitu menyeramkannya cengkraman kesepian ini, sehingga aku pernah merasa bahwa kesepian ini melilit jiwaku. Aku ingin lari, namun tak dapat. Aku mencoba menari dalam keramaian, namun kini yang tertinggal hanya kesepian. Hampa! Maka dari itu, tidak salah jika Bunda Teresa mengatakan bahwa kesepian adalah penyakit terbesar di dunia.
Kesepian dapat dialami oleh siapapun, baik itu orang yang miskin maupun kaya. Kesepian dapat menghinggapi umat maupun para “pemimpin” umat. Dalam jalan yang kutekuni saat ini, aku pernah bertanya pada Tuhan, “Bagaimana aku dapat menemani orang yang kesepian jika aku sendiri kesepian?” Dalam sebuah refleksi imajiner, aku membayangkan sebuah percakapan antara Kristus dan diriku. Kristus tersenyum seraya menjawab pertanyaanku, “Aku juga pernah mengalami kesepian saat bergumul di taman Getsemani, Nak. Saat aku berharap murid-muridku menemaniku, ternyata mereka tertidur.” Aku terisak sambil mengeluh padaNya, “Ya Tuhan, aku pun demikian. Aku pernah merasakan ketiadaan kehadiran orang-orang yang kuharapkan mendukung dan menemaniku pada saat aku terpuruk. Aku kesepian.” Ia tersenyum mengangguk dan aku pun membalas senyumnya dalam imajiku karena Ia lebih dulu merasakan apa yang kurasakan.
Sambil memandang wajahNya, dengan tangan terbuka untuk menanti jawaban aku bertanya, “Tuhan apa yang lakukan kala itu? Kala kesepian mendedahkan kegeramannya di hadapan wajah kita, dapatkah kita sintas ataukah kita menyerah dan terlarut dalam pusaran kesepian? Bagaimanakah aku dapat terbebas dari kesepianku?”
Tiba-tiba aku teringat pada sebuah analisis yang dilakukan oleh Paul Tillich tentang tingkat-tingkat kesepian dalam diri manusia. Pada akhirnya Tillich menyimpulkan bahwa kesepian itu adalah suatu hal yang bersifat eksistensial dalam diri manusia. Kesepian menjadi tanda keterasingan manusia. Manusia teralineasi dari cinta kasih. Bagi Tillich, salah satunya cara untuk mengatasi kesepian adalah dengan merekatkan diri pada Sang Illahi. Manusia tak mampu melepaskan diri dari kesepiannya. Hanya Tuhanlah yang mampu membuatnya merasakan kehangatan, lepas dari kesepiannya.
Kini, kulihat gambaran Kristus yang berdoa dengan darah yang menetes. Kurasakan kelekatan Kristus dengan Bapa-Nya, an invisible person. Pribadi yang tidak terlihat itu merangkul-Nya dan memberikan-Nya kekuatan. Aku mengerti, bahwa doa adalah sebuah media untuk merasakan kehangatan bersama Bapa, sehingga kesepian pun lenyaplah. Ya, dan kini kesepian yang kurasakan pun lenyap bersamaan dengan kalimat penutup sebuah doa dalam rupa imaji bersama Kristus. Kehangatan Kristus melingkupi malam sunyi ini dan kesepian pun lenyaplah…

YIL
saat meninggalkan kesepian menuju kehangatan

Tidak ada komentar: