The world’s greatest tragedy is
unwantedness,
The world’s greatest disease is
loneliness
Mother
Teresa
Apa
itu kesepian? Kesepian adalah sebuah perasaan mengerikan yang dapat
menghancurkan kita. Ya, perasaan ketika kita merasa merindukan sesuatu atau
seseorang, namun kita merasa bahwa tidak akan ada orang yang merindukan,
memahami dan mempedulikan kita. Namun, kesepian tidak sama dengan kesendirian.
Aku senang menyendiri, namun aku tidak merasa sepi. Namun, di tengah keramaian
aku dapat merasakan kesepian. Ya, kesepian tidak selalu hadir dalam kondisi
sunyi, tanpa suara. Ia dapat mencengkrammu dalam keramaian ketika bising
knalpot motor dan mobil menunjukkan kegagahannya. Begitu menyeramkannya cengkraman
kesepian ini, sehingga aku pernah merasa bahwa kesepian ini melilit jiwaku. Aku
ingin lari, namun tak dapat. Aku mencoba menari dalam keramaian, namun kini yang
tertinggal hanya kesepian. Hampa! Maka dari itu, tidak salah jika Bunda Teresa
mengatakan bahwa kesepian adalah penyakit terbesar di dunia.
Kesepian
dapat dialami oleh siapapun, baik itu orang yang miskin maupun kaya. Kesepian dapat
menghinggapi umat maupun para “pemimpin” umat. Dalam jalan yang kutekuni saat
ini, aku pernah bertanya pada Tuhan, “Bagaimana aku dapat menemani orang yang
kesepian jika aku sendiri kesepian?” Dalam sebuah refleksi imajiner, aku
membayangkan sebuah percakapan antara Kristus dan diriku. Kristus tersenyum
seraya menjawab pertanyaanku, “Aku juga pernah mengalami kesepian saat bergumul
di taman Getsemani, Nak. Saat aku berharap murid-muridku menemaniku, ternyata
mereka tertidur.” Aku terisak sambil mengeluh padaNya, “Ya Tuhan, aku pun
demikian. Aku pernah merasakan ketiadaan kehadiran orang-orang yang kuharapkan mendukung
dan menemaniku pada saat aku terpuruk. Aku kesepian.” Ia tersenyum mengangguk
dan aku pun membalas senyumnya dalam imajiku karena Ia lebih dulu merasakan apa
yang kurasakan.
Sambil
memandang wajahNya, dengan tangan terbuka untuk menanti jawaban aku bertanya, “Tuhan
apa yang lakukan kala itu? Kala kesepian mendedahkan kegeramannya di hadapan
wajah kita, dapatkah kita sintas ataukah kita menyerah dan terlarut dalam pusaran
kesepian? Bagaimanakah aku dapat terbebas dari kesepianku?”
Tiba-tiba
aku teringat pada sebuah analisis yang dilakukan oleh Paul Tillich tentang
tingkat-tingkat kesepian dalam diri manusia. Pada akhirnya Tillich menyimpulkan
bahwa kesepian itu adalah suatu hal yang bersifat eksistensial dalam diri
manusia. Kesepian menjadi tanda keterasingan manusia. Manusia teralineasi dari
cinta kasih. Bagi Tillich, salah satunya cara untuk mengatasi kesepian adalah
dengan merekatkan diri pada Sang Illahi. Manusia tak mampu melepaskan diri dari
kesepiannya. Hanya Tuhanlah yang mampu membuatnya merasakan kehangatan, lepas
dari kesepiannya.
Kini,
kulihat gambaran Kristus yang berdoa dengan darah yang menetes. Kurasakan
kelekatan Kristus dengan Bapa-Nya, an
invisible person. Pribadi yang tidak
terlihat itu merangkul-Nya dan memberikan-Nya kekuatan. Aku mengerti, bahwa doa
adalah sebuah media untuk merasakan kehangatan bersama Bapa, sehingga kesepian
pun lenyaplah. Ya, dan kini kesepian yang kurasakan pun lenyap bersamaan dengan
kalimat penutup sebuah doa dalam rupa imaji bersama Kristus. Kehangatan Kristus
melingkupi malam sunyi ini dan kesepian pun lenyaplah…
YIL
saat meninggalkan
kesepian menuju kehangatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar