Kamis, 20 Desember 2012

KETEGANGAN ANTARA HOSPITALITY DAN HOSTILITY DALAM KISAH KELAHIRAN KRISTUS



Beberapa waktu terakhir ini, muncul beberapa usaha untuk merekonstruksi kisah Natal yang diwarnai dengan hostility, melalui suatu tafsiran imajinatif ala Joas Adiprasetya, dosen saya di STT Jakarta. Rekonstruksi ini cukup menarik dan menimbulkan pro-kontra tentunya. Awalnya, saya termasuk ke dalam kelompok yang kontra terhadap kemungkinan hospitality ini. Saya sempat berdebat dengan teman-teman saya dan dengan tegas mengatakan bahwa saya tidak setuju.
Namun, setelah melalui berbagai perdebatan, saya pun merenungkan kembali  kemungkinan adanya hospitality dalam kisah kelahiran Kristus. Hasil perenungan itu pernah saya tuliskan sebelumnya dalam kolom komentar di sebuah blog, yakni http://ngakawiweti.blogspot.com/2012/12/natal-sebagai-momen-keramahtamahan.html#comment-form. Seorang teman mengatakan bahwa dalam refleksi saya tersebut ada suatu lompatan pemikiran. Saya menerima kritikan itu dan dalam tulisan ini saya mencoba menata ulang hasil refleksi saya.
Pertama-tama, biarlah saya menceritakan mengapa saya mempertanyakan konsep hospitality itu. Saya dengan mudah menerima konstruksi teologis Joas bahwa Yesus tidak lahir di kandang domba, melainkan di ruang bawah tanah. Namun, saya sangat sulit untuk menerima konsep hospitality di dalam kisah Natal versi Lukas. Mengapa? Karena awalnya, dalam imajinasi saya (yang negatif, katakanlah begitu), saya tidak melihat adanya keramah-tamahan. Saya hanya melihat hostility, walaupun Yesus dilahirkan di ruang bawah. Pertanyaan yang berkecamuk dalam diri saya adalah, “Mengapa pemilik rumah tidak meminjamkan kamarnya saja? Mengapa pemilik rumah tidak memprioritaskan orang yang hamil tua, walaupun dia datang terlambat sekalipun?” Pada saat itu, saya masih belum dapat menerima argumentasi Joas bahwa ruangan yang diberikan bagi Maria dan Yusuf adalah ruangan yang terbaik bagi mereka.
Namun, setelah saya merenung-renung, saya pun menyadari kekeliruan saya. Saya menyadari bahwa masih ada kemungkinan ruang bagi hospitality. “Pertobatan” pemikiran saya ini terjadi setelah saya berdiskusi dengan teman-teman saya dan me-re-imajinasikan pergumulan pemilik penginapan. Re-imajinasi ini mungkin sedikit berbeda dengan yang disampaikan oleh Joas. Joas dalam tulisannya menggambarkan pergumulan pemilik penginapan dengan sebuah imajinasi seperti ini: 

" Maka, bisa dibayangkan betapa bingungnya tuan dan nyonya rumah. Sepasang sejoli muda datang terlambat, sementara rumah mereka telah penuh sesak. Dan, bukan hanya itu, si perempuan muda itu mengandung tua dan siap melahirkan. Bagaimana jika mereka dipaksa masuk ke kataluma, lalu di sana ia melahirkan? Bagaimana mungkin bayi yang bakal lahir dapat beristirahat? Bagaimana juga dengan ibu baru yang tentu membutuhkan ketenangan untuk memulihkan tenaga? Dan seribu satu pertanyaan penuh kekuatiran.” (http://www.facebook.com/notes/joas-adiprasetya/natal-perdana-ruang-keramahtamahan/10151172666821964)

Saya mengakui bahwa imaji Joas terhadap hospitality pemilik rumah sangat positif. Pertimbangan yang digumuli oleh pemilik rumah sangatlah positif. Namun, saya punya imaji lain dengan Joas. Boleh khan? Secara singkat, saya rangkumkan imaji saya dengan sebuah kalimat: pergumulan antara "hostility" dan "hospitality", yang "dimenangkan" oleh hospitality". Jadi, yang saya lihat adalah pertentangan batin di dalam diri pemilik rumah yang kemungkinan besar adalah sanak saudara dari Yusuf. Di dalam batin tuan dan nyonya rumah, mungkin muncul "hostility" yang bergesekan dengan "hospitality".

Saya membangun imajinasi itu dengan argumentasi teologis di bawah ini:
(1) Ada pergumulan batin untuk menghadirkan hospitality dalam diri pemilik penginapan. "Hospitality" ini disebabkan karena dua hal. Pertama, hospitality sudah menjadi adat istiadat bagi bangsa Israel (bahkan hospitality memang menjadi praktik yang sangat penting di dalam dunia kuno!) (Mercer dictionary of the Bible, 1990, pp. 393). Dalam Kitab Ayub 31:32, Ayub juga menjunjung tinggi hospitality. "malah orang asing pun tidak pernah bermalam di luar, pintuku kubuka bagi musafir." Kedua, secara manusiawi MUNGKIN SAJA pemilik rumah IBA melihat perempuan hamil besar dan mau melahirkan.
(2) Ada pergumulan "hostility" dalam diri pemilik penginapan. Setidaknya, menurut saya "hostility" ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena gosip hamil pra-nikah yang beredar di kalangan sanak keluarga Yusuf. Dalam Zondervan Dictionary of Biblical Imagery, dikatakan bahwa pemilik rumah (yang adalah sanak keluarga Yusuf) tidak mau menerima mereka karena gosip hamil pra-nikah yang sudah beredar di kalangan keluarga Yusuf. Kedua, karena pemilik rumah ketakutan jika orang-orang lain yang menginap di rumahnya merasa terganggu karena Maria hampir melahirkan. Perlu diingat bahwa orang-orang Yahudi merasa bahwa perempuan yang melahirkan adalah najis, bandingkan Imamat 12:1-5.
Jadi dalam imajinasi saya, terbentang suatu pergumulan batin di dalam diri pemilik penginapan, antara "memelihara tradisi hospitality" dengan "mempertahankan pagar taurat tentang kenajisan", antara "perasaan iba terhadap Maria" dengan "perasaan takut dihakimi oleh tamu yang lain karena tindakkannya".
Pada akhirnya pergumulan batin itu dapat diselesaikan oleh pemilik rumah dengan kemenangan "hospitality".  “Hospitality” menjadi keputusan etis yang diambil oleh tuan rumah saat mereka memberikan ruang bawah tanah bagi Maria dan Yusuf. Secara bentuk ruang, mungkin ruang bawah tanah memang bukanlah ruangan yang terbaik. Namun, pemberian ruangan ini adalah pilihan yang terbijak dari si tuan rumah, baik itu bagi Maria, Yusuf serta tamu-tamunya yang lain.
Melalui rekonstruksi ini, saya terbantu untuk melihat sisi positif dari manusia (baca: tuan rumah). Perlu diakui bahwa kecenderungan atas sifat baik dan buruk itu memang ada di dalam diri manusia. Saya jadi teringat sebuah novel kuno, Jackyll and Hyde, yang menggambarkan bahwa di dalam hidup manusia selalu ada sisi gelap-terang, sifat jahat dan baik. Namun, melalui rekonstruksi ini saya diingatkan bahwa tidak selamanya sisi gelap itu yang selalu menonjol. Saya pernah (dan kadang-kadang masih!) menjadi orang yang sangat curigaan terhadap orang lain dan bersikap skeptis terhadap orang-orang yang sudah saya cap buruk. Saya merasa bahwa tidak ada sisi baik dalam diri mereka. Yeah, itu juga yang menjadi “dosa komunal” gereja selama berabad-abad terhadap pemilik rumah itu. Kita memberikan label buruk sebagai “penolak Kristus yang kejam” kepada si pemilik rumah.  Namun, melalui rekonstruksi terhadap teks ini, saya diingatkan bahwa masih ada sisi baik di dalam diri pemilik rumah, begitu juga dengan orang lain yang selama ini saya sudah berikan cap buruk.  
Sebagai sebuah penutup, saya memohon ampun pada Tuhan karena sering bersikap skeptis terhadap keramah-tamahan Illahi yang tercermin dalam keramah-tamahan insani. Ampuni saya juga karena saya masih suka berpandangan negatif kepada orang-orang tertentu. Saya juga memohon maaf pada mereka yang pernah saya berikan label negatif. Saya percaya, sekalipun di dalam diri manusia ada sisi gelap dan terang serta sejuta pergumulan di dalamnya, Tuhan dapat bekerja untuk memunculkan sisi terang dan mereduksi sisi gelap itu dan menuntun kita untuk mengambil keputusan etis atas setiap pergumulan yang harus kita hadapi. J

Bandung, 20 Desember 2012
YIL

Tidak ada komentar: