Jumat, 11 Januari 2013

Pulang: Novel Karya Leila S. Chudori




 “Rumah adalah tempat di mana aku bisa pulang.” 

Dimas Suryo


Percikan kalimat pendek di atas menjadi jantung dari novel Pulang. Pulang mengisahkan pergumulan para eksil yang terlibat maupun dituduh terlibat dalam peristiwa berdarah di tahun 1965. Mereka “terjebak” di Perancis dan tak dapat menjejakkan kakinya kembali ke Indonesia karena mengalami berbagai peraturan diskriminatif dari rezim Orde Baru. Hingga akhirnya mereka dapat kembali pulang --dalam bentuk manusia utuh ataupun seonggok mayat—ke Indonesia, setelah kejatuhan rezim Orde Baru di tahun 1998.

Novel bergenre sejarah ini berlatarkan tiga peristiwa kunci: Indonesia di tahun 1965, gerakan mahasiswa di Perancis di tahun 1968, dan kerusuhan Mei 1998 di Indonesia. Dengan alur yang sangat memikat di tengah-tengah ketakberaturannya, novel ini menggiring saya untuk memasuki tiga konteks itu dan dengan sigap menyerap saya dalam pusaran imajinasi tentang sisi lain dari peristiwa sejarah 1965, yakni pergumulan orang-orang yang dicap oleh pemerintah sebagai aktor beserta keluarganya. 


Novel bercorak pos-kolonial ini menceritakan fragmen-fragmen pergumulan para tokoh utama dan orang-orang yang dicap sebagai antek-antek PKI. Novel ini adalah sebuah bentuk penentangan terhadap gelombang besar produk tunggal historis yang diangkai oleh satu rezim. Dimas Suryo, Lintang Utara dan Segara Alam menjadi tiga tokoh utama dengan berbagai orang di sekitarnya. Bagi saya, keberadaan lebih dari satu tokoh kunci dan pergumulan orang-orang di sekitarnya membuat novel ini menjadi lebih memikat. 


Dimas Suryo menjadi seorang eksil –yang terpaksa menjadi eksil—di Perancis, karena menggantikan Hananto Prawiro (seorang redaktur di kantor Berita Nusantara yang berkaitan dengan PKI dan Lekra) untuk mengikuti Konferensi Wartawan Asia Afrika di Peking. Dimas Suryo bukanlah seorang golongan kaum kiri. Ia hanya terjebak dan dipandang sebagai golongan kaum kiri. Pada saat itu, Indonesia tidak mengenal warna dan arah lain selain hitam dan putih serta kiri dan kanan. Tidak ada kata bagi moderat dan sejuta warna lainnya. Dimas dicemplungkan ke dalam warna hitam dan kiri karena keterlibatannya di kantor Berita Nusantara. Hubungan Dimas dengan Hananto terpilin karena keberadaan Surti, mantan kekasih Dimas yang akhirnya memilih Hananto. Hananto menitipkan Surti dan ketiga anaknya kepada Dimas, setelah ia harus diburu dan akhirnya dihukum mati karena keterlibatannya dalam tubuh PKI. 

Dalam pelariannya di Perancis, ia berjumpa dengan Vivenne Deveraux. Vivenne adalah mahasiswi yang mengikuti unjuk rasa melawan pemerintah Perancis. Vivenne menjadi istri Dimas karena cinta pada pandangan pertama. Di Perancis, Dimas berjumpa kembali dengan kawan-kawannya yang menjadi eksil yakni: Nug, Tjai, dan Risjaf. Mereka merindukan untuk pulang ke rumah mereka: I.N.D.O.N.E.S.I.A. Hanya Risjaf yang berhasil pulang. Namun selebihnya tidak dapat pulang ke tanah airnya karena diskriminasi yang mereka alami sebagai orang-orang yang dicap “berbahaya” oleh polisi. Mereka pun mendirikan restoran Tanah Air sebagai ekspresi atas kerinduan mereka terhadap Indonesia dan desakkan dari dewa ekonomi yang memaksa mereka untuk bertahan hidup di Perancis. Di sela-sela alur besar ini, kita dapat menemukan kisah cinta dan prahara rumah tangga yang menarik serta alunan nada sedih dari orang-orang yang mereka tinggalkan di tanah air melalui untaian surat dan telegram yang mereka terima dari kerabat mereka yang harus menderita di Indonesia karena dianggap sebagai keluarga PKI. 

Lintang Utara Suryo adalah putri cantik dan pintar dari pasangan Dimas dan Vivenne. Ia menguasai tiga bahasa: Perancis, Inggris dan Indonesia. Cita-cita Dimas untuk menjejak ke tanah air diwakili oleh Lintang anaknya yang harus merampungkan tugas akhir studi strata satunya dengan membuat sebuah film dokumenter bertemakan pergumulan dan penderitaan keluarga orang-orang yang terlibat maupun dituduh sebagai anggota PKI.  Lintang berhasil mendapatkan visa ke Indonesia atas bantuan Narayana Lavebre (kekasihnya) dan teman-temannya. Mereka memasukkan nama Utara sebagai nama keluarga Lintang dan membuang nama Suryo dalam formulir pendaftaran visa milik Lintang.

Lintang pulang ke Indonesia pada saat-saat yang berat. Ayahnya, Dimas Suryo, sedang mengidap cirrhosis, penyakit yang dirahasiakan Dimas pada Lintang. Tidak hanya itu, keadaan politik dan ekonomi di Indonesia sedang memanas, yakni pada kisaran bulan Mei 1998. Di Indonesia, ia ikut mengalami peristiwa Mei 1998, yakni kerusuhan besar, penganiayaan terhadap etnis Tionghoa dan jatuhnya rezim Orde Baru, yang telah “menghadiahi” keluarga besar mereka dengan sebuah cap besar: DISKRIMINASI. Di Indonesia, ia harus mendengar kisah pedih dari keluarga orang-orang yang dicap terlibat PKI. Ia mendengarkan pedihnya ungkapan tante Surti Anandari yang mengalami pelecehan seksual pada saat diinterogasi. Ia merasakan kepedihan ketika ayahnya dimaki-maki oleh golongan “elit” yang mencicipi gelimang harta dari rezim orde baru. Ia merasakan pergumulan keluarga pamannya, Aji Suryo yang mengalami diskriminasi untuk mendapat pekerjaan di instansi pemerintahaan. Kisah hidup Lintang menjadi semakin menarik dengan bumbu kisah cinta segitiga yang dialaminya dengan Narayana dan Alam Sagara.

Alam Sagara adalah putra bungsu dari Surti Anandari (mantan kekasih Dimas) dan Hananto Prawiro. Laki-laki tampan ini memikat hati Lintang dalam cinta pada pandangan pertama. Ialah yang membantu lintang membuat film dokumenter itu dengan menghubungkan Lintang pada para korban dan tokoh-tokoh perjuanan Hak Asasi Manusia. Keterlibatannya dalam perjuangan menegakkan Hak Asasi Manusia, membuatnya memiliki jejaring dengan berbagai tokoh penting seperti Pramoedya Ananta Toer, Rendra dan tokoh-tokoh lainnya. Lintang dan Alam terlibat dalam pengejaran intel Orde Baru yang mengincar Alam sebagai targetnya. 


Tidak mudah untuk menceritakan kekayaan novel ini dalam sebuah tulisan singkat ini. Dari novel ini, saya belajar sisi lain sejarah dari perspektif orang-orang yang mengalami diskriminasi. Selama ini, orde baru memanipulasi dan menumpulkan daya kritis rakyatnya dengan membentuk sebuah narasi historis tunggal dari sudut pandang P.E.N.G.U.A.S.A.  Mereka yang disebut penguasa ini memercikan roh kebencian dan roh diskriminatif pada mereka dan keluarga mereka yang dimasukkan ke dalam kategori pelaku G.30. SPKI. Saya ingat setiap tanggal 30 September, diputar film tentang penembakan jendral yang dilakukan oleh anggota PKI, tanpa pernah menceritakan bagaimana pergumulan mereka dan orang-orang tak bersalah yang dianggap terlibat dalam pergerakkan ini. Di samping itu, dari novel ini saya juga mencicipi kebudayaan Indonesia yang berharga yakni kisah-kisah pewayangan Mahabarata dan berbagai kutipan dari pujangga Indonesia. Kekayaan budaya dan karya ini perlu diketahui oleh kaum muda bangsa Indonesia. Demi menimbulkan hasrat penasaran, saya tidak akan menceritakan detilnya dalam tulisan ini. Akhirnya, saya merekomendasikan para pencinta novel dan orang yang baru mau mencintai sastra untuk mengalami apa yang saya rasakan: terjun ke dalam pusaran imajinasi apik dalam novel berjudul Pulang.

Judul : Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit : Desember 2012


YIL
Januari 2013, 
dalam keheningan rumahku di Bandung 
rumah dan kota yang selalu membuat aku ingin pulang.

Tidak ada komentar: