Minggu, 13 Januari 2013

Ketika Dia Berdoa Untukku

Beberapa waktu lalu, aku datang ke kota tembakau untuk memenuhi janjiku. Aku pergi ke sana untuk mengunjungi seorang nenek tua, yang kisahnya sudah lebih dari dua kali kutuliskan. Namun, rasanya menulis tentangnya tiada ada habisnya. Dia bukan orang terpelajar. Dia bukan orang kaya. Dia adalah orang yang rumahnya beralaskan tanah, di sela-sela dua rumah yang hampir berdempetan.

Di sela-sela hujan yang semakin deras, aku mengetuk pintu rumahnya, yang tak layak juga disebut sebagai pintu. Dia tidak menyahut. Kutengok ke dalam rumah tak berjendela itu, namun ia tidak ada. Firasatku tak enak. Aku berlari menuju ke kios rokok, tempat ia berjualan. Lalu, kulihat dirinya memegang payung rombengnya. Aku berlari menerobos hujan dan kupeluk dia. Aku terkejut melihat wajahnya yang biru lebam. Dia menarik aku agar berlindung di bawah naungan payungnya.

Dengan tak sabar menahan rasa penasaran dan keterkejutanku, aku bertanya padanya, "Ma, kenapa mukanya biru?" Dia menahan isak tangis dan masih belum mau menceritakan pengalamannya padaku. Dia balik bertanya, "Kamu dari mana? Sekarang kerja di mana?" Aku termenung untuk sesaat karena dirinya masih dapat memerhatikan orang lain dalam kondisinya yang buruk. Aku pun menjawab pelan, "Aku sedang menunggu penempatan dan panggilan, Ma. Aku sedang berada dalam masa tenang dan ke sini khusus untuk bertemu dengan Ema."

Nenek tua itu mengucurkan air matanya dan menceritakan kejadian yang menimpanya kepadaku. Ia baru saja dirampok untuk yang ke-8 kalinya. Uangnya diambil. Ia tidak memegang uang sedikitpun. Ia dapat pergi ke rumah sakit karena diantar tukang becak dan masyarakat di sekitarnya.

Aku sedih sekali ketika memandang nenek tua ini. Anganku melayang menembus dimensi waktu, yakni sehari sebelum aku pulang dari kota tembakau itu. Di sore hari, ia datang memberiku amplop dan kue. "Ini bekal untuk di jalan, Nak" katanya. Aku mencium nenek tua renta ini. Pemberian ini sangat berharga bagiku. Seorang yang sangat terbatas, rela memberikanku hadiah. Bagi kebanyakan orang mungkin jumlahnya tak banyak. Namun bagiku, pemberian ini sangat berarti. Ia memberi dari apa yang ia miliki, bukan dari kelebihannya. Aku merasakan keharuan yang sulit digambarkan. Perasaan yang mungkin juga dialami Kristus, sewaktu Ia melihat janda miskin yang memberi persembahan.

Lamunanku buyar, ketika ia memegang tanganku dan berkata dengan suara lirih, "Ema tidak punya apa-apa. Ema mau berdoa untukmu dan untuk pekerjaanmu, agar Tuhan menempatkanmu di tempat yang sesuai dengan kehendak-Nya." Aku terisak. Perempuan ini berkata, "Jangan menangis dan jangan takut, ada Tuhan bersamamu." Ah, lagi-lagi Tuhan mengingatkanku untuk tetap berjuang melalui nenek tua ini. Aku menutup mataku dan mendengarkan doanya. Aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa isi doanya. Ia berdoa dalam bahasa Jawa dan dengan suara yang lirih. Namun, kurasakan getaran batin dan Tuhan berbicara melaluinya ketika ia berdoa untukku. Seolah-olah, dalam lirih ia berkata, "Maju dan yakinlah Tuhan akan menjaga dan menolongmu."

Aku membuka mataku ketika selesai berdoa. Kucium dan kupeluk dirinya. Aku selalu menemukan pengalaman berharga setiap kali mengunjunginya. Terima kasih untuk ketulusanmu. Aku tidak akan melupakanmu, engkau yang masih berdoa untuk orang lain walaupun dirimu mengalami penderitaan.


YIL
ketika mengenang perjalanan spiritual di bulan November 2012
Jakarta-Jogja-Temanggung-Bandung.

Tidak ada komentar: