Sabtu, 27 Februari 2016

Refleksi Penahbisan: Mengasihi dalam Kerapuhan

MENGASIHI DALAM KERAPUHAN
Yohanes 21:15-19
 
Panggilan dalam Kerapuhan
 
Mengapa kamu memilih menjadi seorang pastor? Biasanya, kita akan menjawab dengan spontan, rela dan hampir agresif: “Sebab Tuhan memanggil aku, dan aku meyakini panggilan itu.” Hanya saja, baru-baru ini ketika aku berhubungan dengan manusia yang memiliki beranekaragam sifat, aku kemudian menyadari bahwa ada bayang-bayang dalam ingatan hidupku hingga akhirnya aku berani menatapnya.
Aku menatap kembali peristiwa ketika ayahku meninggal dunia. Hidupku dan keluargaku menjadi sangat sulit. Namun, di tengah kesulitan itu, aku berhasil masuk sekolah unggulan. Elit-elit yang tamat dari sekolah itu didorong untuk masuk biara. Tentunya, hal ini merupakan gabungan antara keistimewaan, tradisi dan gengsi.  Masuk ke dalam korps rohaniwan menjadi suatu kehormatan dan keistimewaan. Bahkan status sosial keluarga pun terdongkrak karena sebagai seorang rohaniwan, hidupku akan selalu cukup tanpa perlu sibuk dengan kompetisi keuangan dunia.
Namun, ada situasi lain. Saat aku berdoa di kapel, ada seorang Bapa Rohani yang menepuk pundakku. Ia rupanya sedang memastikan agar anak-anak dari sekolah unggulan masuk ke dalam sekolah kerohanian. Ia berbisik, “Dengarlah suara Kristus dari salib yang memerintahkan kamu untuk mengikuti Dia.” Suara itu menekanku hingga aku memutuskan untuk mengikuti sarannya.
Selama bertahun-tahun aku tidak menyadari bahwa di dalam pilihanku itu terselip motif-motif mencari aman, menghindari tekanan, dan mencari prestise. Aku berpikir bahwa pilihanku hanya didasarkan atas cinta kasih yang murni pada Allah. Aku bahkan kurang memahami siapa diriku sendiri.
Akan tetapi, Allah tidak membiarkan diriku abai terhadap pengujian diri sendiri. Allah memperjumpakanku dengan orang-orang yang menuntunku pada permenungan penggalian motivasi diri. Tuhan juga membenturkanku dengan kegagalan dalam melaksanakan proyek-proyek di hidupku hingga akhirnya aku tersadar. Ya, aku tersadar bahwa di balik motifku untuk mencintai Kristus, terselip identitas asliku dan motif-motif campuran yang ada dalam diriku.
 
(diparafrase dari The Art of Choosing, 53-70)
 
 
Kisah di atas bukanlah kisah perjalanan kependetaan saya, melainkan kisah seorang pastor Jesuit yang bernama Carlos G Valles. Ia mengatakan bahwa tidak ada pilihan yang benar-benar murni. Dalam kenyataannya, ada banyak motif (melingkupi campuran akal budi, perasaan, masa lalu, masa kini, tradisi, reaksi, harapan, dan juga ketakutan-ketakutan kita) yang meresap ke dalam pilihan akhir yang kita buat. Dan bahkan kadang kita tidak menyadari motif campuran itu. Karena itu, diperlukan mata batin yang jernih untuk memeriksa motif yang sesungguhnya dan juga gerak hati yang tersembunyi (Valles 1998, 15-51).
Jadi, mengapa saya ingin menjadi seorang pendeta? Pertanyaan itu pun kembali menukik pada setiap calon pendeta dan pendeta, termasuk diri saya. Dalam proses yang panjang ini, Tuhan memperjumpakan saya dengan berbagai pergumulan yang menuntun saya pada refleksi yang hampir sama dengan Valles. Dan saya sekarang bersyukur untuk kasih Tuhan melalui setiap terpaan yang Tuhan hadirkan di dalam hidup saya!
Awalnya, tanpa berpikir panjang, saya berkata bahwa saya mau menjadi pendeta karena cinta pada Tuhan, sebagaimana yang saya katakan pada Pdt. Ferdy Suleeman dan Pdt. Suhud saat test seleksi calon mahasiswa teologi. Namun, jawaban awal itu menjadi jawaban yang dipertanyakan, yang tidak taken for granted karena dalam perjalanan iman ini Tuhan menolong saya untuk menguji diri sendiri lewat berbagai pergumulan dan kegagalan. Dalam berbagai peristiwa itu, saya sempat mempertanyakan kebaikan Tuhan, bahkan marah kepada Tuhan. Hingga akhirnya, saya menyadari bahwa motif-motif campuran itu pun mewarnai perjalanan saya.
Melalui berbagai peristiwa, Tuhan menyibakkan siapa diri saya. Tuhan memurnikan saya untuk menyadari bahwa saya hanyalah seorang yang rapuh. Saya menemukan beragam motif alam bawah sadar yang awalnya saya sendiri pun tidak menyadarinya. Tuhan membuka kunci atas kotak masa lalu, masa kini, kesalahan, ketakutan, kepongahan dan harapan yang saya kubur di tempat tersembunyi. Ternyata, diri saya tidak sebaik seperti yang saya kira. Bahkan dalam titik-titik tertentu, saya merasa tidak layak menjadi seorang pendeta.  
Karena itu, kalau saya saat ini dapat sampai pada momen penahbisan, maka saya memahami panggilan saya sebagai anugerah Tuhan semata. Tuhan memanggil saya untuk menjalani hidup dalam anugerah “ketegangan” antara cinta kepada Tuhan dan pergulatan melawan riak-riak dalam alam bawah sadar yang dapat merusak panggilan kependetaan saya. Saya akui hal ini tidak mudah karena dalam titik-titik tertentu saya kadang merasa hampir menyerah dengan diri saya sendiri. Namun, dalam berbagai refleksi saya sering membayangkan bahwa Tuhan tak pernah lelah untuk berkata, “Ayo Yes, berjuanglah bersama-Ku.” Ada sebuah lagu yang syairnya dengan tepat menggambarkan refleksi saya atas anugerah panggilan Tuhan dalam kerapuhan. Lagu ini berjudul God of Silence, karya Bukas Palad. Demikian liriknya:
 
The God of silence beckons me
To journey to my heart
Where He awaits
O Lord, I hear You calling tenderly
To You I come to gaze
At the beauty of Your face I cannot see
 
To rest in Your embrace I cannot feel
To dwell in Your love hurting but sweet
To be with You; to glimpse eternity
 
God of night, fount of all my delight.
Show Your light . . . that my heart, like Yours, burn bright.
 
Be still the torment of the night
Will not encumber you, if you believe
My child this darkness isn’t emptiness
For here I mold your heart
Unto My image painfully you long to see
 
The self you yearn to be, but fear to know
The world from which you flee in Me find home
All these I give you, if you remain in Me

I am ever here
My child, you need not fear
The dark will set you free
And bring your heart to Me

The God of silence beckons me
To journey to my heart
Where He awaits me.
 
Perjumpaan yang Memulihkan: Apakah Engkau Mengasihi Aku?
            Teks yang saya pilih untuk dikhotbahkan dalam penahbisan saya adalah teks perjumpaan Tuhan Yesus dengan Petrus, paska kebangkitan-Nya. Kenapa tokoh Petrus? Karena saya merasa seperti Petrus yang dalam panggilannya berkali-kali jatuh bangun karena beragam pergumulan pada alam bawah sadarnya.
Kita tentu masih ingat kisah Petrus berjalan di atas air, namun ia hampir tenggelam ketika tiupan angin keras menerpanya. Di tengah ketakutannya, Petrus berseru memohon pertolongan Tuhan. Petrus juga pernah merasa lebih tahu dari Tuhan Yesus saat ia menegur Tuhan Yesus yang sedang memberitahukan penderitaan-Nya dan syarat untuk mengikuti-Nya. Petrus juga pernah berkata-kata kepada Tuhan Yesus dengan sangat gagah, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.” Faktanya, Petrus menyangkal Yesus tiga kali sebelum ayam berkokok. Akibatnya, Petrus pulang dengan sedihnya ketika matanya bertatapan dengan mata Tuhan Yesus.
Dari kisah Petrus ini, tentu kita dapat mengerti bagaimana karakter Petrus. Petrus merasa menjadi seorang pemberani, namun ternyata ia hanya berani dalam posisi aman. Petrus merasa memahami kehendak Allah, namun ternyata yang dipahaminya tak selaras dengan apa yang Allah pikirkan. Petrus merasa menjadi orang yang setia, namun ternyata ketakutannya mengalahkan kesetiaannya. Petrus awalnya merasa mampu mengasihi Tuhan dengan kekuatannya sendiri, ternyata ia tak mampu membuktikannya.
Akan tetapi, Kristus adalah Allah yang penuh kasih dan memanggil kita dalam pemulihan. Injil Yohanes 21:15-19, menunjukkan rasa cinta Tuhan Yesus kepada Petrus, walaupun berkali-kali Petrus tidak dapat mempertahankan ucapannya. Dalam percakapannya dengan Petrus pasca kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus bertanya hingga sebanyak tiga kali kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Pertanyaan sebanyak tiga kali ini sungguh menarik karena berbanding lurus dengan penyangkalan Petrus sebanyak tiga kali. Dalam hal ini, saya membayangkan bahwa ketika Tuhan Yesus bertanya  kepada Petrus, Petrus mengingat kembali peristiwa ketika ia menyangkal Yesus dan berbagai peristiwa lainnya yang menunjukkan kerapuhannya sebagai seorang manusia.   
Kata kasih yang digunakan dalam pertanyaan pertama dan kedua adalah agapan yang merujuk kepada kasih Allah. Namun, Petrus menjawab pertanyaan Yesus dengan menggunakan kata philein, kasih seorang sahabat. Barulah pada pertanyaan ketiga, Tuhan Yesus mengganti kata agapan dengan philein. Menurut saya, pergantian kata ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus menerima Petrus apa adanya dalam segala kerapuhannya. Alkitab mencatat, maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya, “Apakah engkau mengasihi Aku?”. Dalam jawaban yang ketiga, tercermin jawaban Petrus yang sangat rendah hati. Petrus berkata, “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Dengan demikian, Tuhan Yesus mau menjadi sahabat bagi Petrus yang berjuang untuk mengasihi-Nya.  
Dalam suatu permenungan, saya pernah membayangkan Tuhan Yesus bertanya kepada saya, seperti Ia bertanya kepada Petrus. Di sanalah saya merasa begitu sedih, karena saya harus menghadapi dan mengakui kerapuhan saya. Akan tetapi, di dalam kesedihan itu pula saya merasakan cinta kasih dan rahmat Allah yang besar. Ia tak pernah menyerah untuk merengkuh saya yang awalnya tak mengenal diri saya dan yang telah berkali-kali menyangkali-Nya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Henri Nouwen, bahwa Allah menuntun kita untuk merengkuh kerapuhan kita dan meletakannya dalam berkat-Nya.”The first response to our brokenness is to face it squarely and befriend it. The second response to our brokenness is to put it under the blessing,” (Nouwen 2003, 36-155)
Tuhan Yesus yang menerima Petrus dan segala kerapuhannya itu pun terus memulihkan Petrus dalam mandat pastoral untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Karena itu, saya pun meyakini bahwa mandat pastoral dari Tuhan untuk menggembalakan umat Tuhan bukanlah diperoleh karena kehebatan saya. Saya bukanlah siapa-siapa! Saya bukanlah orang serba bisa dan dapat mengontrol segala sesuatu! Tidak ada yang pantas disombongkan dari diri saya. Tuhan Yesus memanggil saya dalam kerapuhan dan memulihkan saya dalam proses penggembalaan terhadap umat.
 
Visi: Mengasihi dalam Kerapuhan
To love at all is to be vulnerable. Love anything and your heart will be wrung and possibly broken. If you want to make sure of keeping it intact you must give it to no one, not even an animal. Wrap it carefully round with hobbies and little luxuries; avoid all entanglements. Lock it up safe in the casket or coffin of your selfishness. But in that casket, safe, dark, motionless, airless, it will change. It will not be broken; it will become unbreakable, impenetrable, irredeemable. To love is to be vulnerable.”
 
C.S Lewis, The Four Loves
 
Pertanyaan yang sering saya dengar ketika masuk ke dalam proses kependetaan adalah, “Apa visimu?” Sebelum menjawab pertanyaan itu, baiklah saya menegaskan bahwa visi saya terkait erat dengan kesadaran bahwa saya dipanggil dalam kerapuhan. Saya meminjam pandangan Nouwen, yang mengatakan bahwa ada hubungan misterius antara kesadaran akan kerapuhan kita dengan kemampuan untuk memberi diri bagi sesama.
Menurut Nouwen, kita mungkin pernah memasuki ruang kerapuhan saat kita merasakan luka yang begitu menusuk. Dan dalam masa-masa “gelap” itu, Tuhan menuntun kita untuk menyadari kerapuhan kita. Dalam titik rapuh itu, kita masuk ke dalam permenungan bahwa kita tidak memiliki apapun untuk diberikan kepada orang lain. Namun kemudian, Tuhan membuka mata kita untuk menyadari pentingnya berbagi hidup dengan orang lain. Tuhanlah yang menolong kita untuk dapat berbagi hidup dengan orang lain dalam kerapuhan kita (Nouwen 1992, 80).
Frasa berbagi hidup dalam kerapuhan dianalogikan Nouwen dengan roti yang dipecah-pecahkan. Roti harus dipecah-pecahkan terlebih dahulu agar dapat dibagikan (Nouwen 2011, 80-81). Bukankan broken bread itu menjadi simbol kerapuhan Anak Manusia? Ya, perjamuan kudus mengingatkan kita akan kasih Kristus yang menjadi manusia. Allah yang tak terbatas itu berinkarnasi menjadi manusia yang terbatas dan rapuh karena kasih-Nya kepada manusia. Tuhan merasakan pedih perih yang dirasakan manusia ketika berjumpa dengan ketidak-setiaan dan penolakan. Di dalam kerapuhanlah, Kristus mengasihi kita. Maka jelaslah yang dikatakan C.S. Lewis dalam kutipan surat undangan penahbisan saya bahwa “to love at all is to be vulnerable.
Dengan berkaca pada inkarnasi Kristus, pertanyaan akan visi yang sesungguhnya bukan lagi, “apa yang dapat kita berikan bagi orang lain, melainkan dapat menjadi apakah saya bagi orang lain?” Saya pernah punya keinginan besar untuk memberi diri bagi gereja dengan menjadikan gereja seperti ini-itu melalui berbagai program. Saya berpikir dengan paradigma program oriented. Akan tetapi, saya menyadari bahwa program dapat berganti sesuai dengan perkembangan zaman. Apa yang menjadi program yang popular di masa kini, akan menjadi usang di masa depan. Belum lagi, penekanan yang terlalu berlebihan pada program dapat membuat orang memperlakukan sesamanya seperti mesin. Kasih-Nya melampaui batasan-batasan yang rigid, kaku dan terpola. Ternyata titik berangkatnya bukan dari program, melainkan dari sentuhan kasih Allah Tritunggal yang diwujud-nyatakan melalui sikap berbagi hidup dengan seluruh ciptaan.
Akhirnya, dalam proses ini, saya menemukan bahwa visi saya adalah untuk menjadi seorang pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti melekatkan diri pada Allah, walaupun perjalan bersama-Nya kadang naik dan turun dalam irama yang tak selalu membahagiakan. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti berfokus pada transformasi umat (di mana saya ada di dalamnya), walaupun mungkin kita harus jatuh bangun bersama-sama. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti menyadari betapa kecilnya diri kita dihadapan Allah, namun begitu dicintai-Nya. Menjadi pendeta yang mengasihi dalam kerapuhan berarti memiliki ketekunan, kesabaran dan cinta yang besar untuk berjalan dengan sesama umat yang rapuh, sama seperti saya yang juga rapuh. Visi ini adalah sebuah way of life, jalan hidup yang saya pilih karena anugerah Allah. Dalam berbagai refleksi, pengujian, dan bahkan keraguan, saya merasa bahwa Allah merestui pilihan hidup saya untuk mengasihi dalam kerapuhan.
 
Jakarta, 1 Februari 2016
Yesie Irawan
 
REFERENSI
 
Rebecca Laird & Michael J. Christensen (Ed). 2003. The Heart of Henri Nouwen: His Words of Blessing. Quenzon City: Claretian Publication.
Henri J.M. Nouwen. 1992. Life of The Beloved: Spiritual Living in a Secular World. New York: Crossroad Publishing Company.
 

Tidak ada komentar: