Jumat, 08 April 2016

KEBANGKITANNYA MENGUBAHKU


            Waktu kecil, saya sangat takut dengan gelap. Pada suatu malam, saya sedang bermain di kamar sendirian. Tiba-tiba lampu mati. Seketika itu pun saya merasa ketakutan dan saya menangis dengan kencang. Yang saya ingat, saya sangat ketakutan. Ada banyak bayangan yang menghantui saya. Saya berlari ke luar kamar, namun kaki saya terantuk pintu dan saya pun menjerit makin keras. Sampai akhirnya mama saya datang dan memanggil nama saya. Sebenarnya, saya tahu mama saya ada di dalam rumah dan dia sedang mandi. Namun, kekalutan yang ada membuat saya tidak “ingat” dan tidak “sadar” lagi bahwa mama saya ada di rumah.

            Saat saya masih kecil, saya merasa takut dan kalut dalam ruang gelap. Saat saya dewasa, saya juga sering merasa takut dan kalut ketika berada dalam “kegelapan hidup”. Barangkali, Anda juga merasakan hal yang sama: kalut dan takut ketika berada dalam “kegelapan hidup”. Dan tokoh-tokoh di dalam Alkitab kita pun merasakan hal yang sama! Hari ini, kita membaca kisah seorang perempuan yang sedang berada dalam “kegelapan hidup” yaitu Maria Magdalena.

            Maria Magdalena, seorang perempuan yang sedang kalut dan takut karena kehilangan Tuhan Yesus yang begitu dikasihinya. Perhatikan saja gesturnya. Ia datang pagi-pagi benar untuk datang ke kubur Yesus pada waktu hari masih gelap. Ia hanya ingin mencurahkan kesedihannya dan merasa dekat dengan Tuhan Yesus dengan mengunjungi makamnya. Namun, betapa sedihnya ia ketika batu telah diambil dari kubur. Tampaknya, ia mengira bahwa mayat Tuhan Yesus telah diambil orang. Ia lari kepada murid-murid yang lain untuk memberitahukan hal itu. Kemudian ia kembali lagi ke kubur itu dan menangis. Betapa pedih hatinya. Ia mungkin merasakan kehampaan dan kehilangan yang mendalam. Katanya kepada malaikat yang menanyainya, “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakan.”

            Yang menarik, dalam kekalutannya Maria tidak mengenali Yesus. Ia tidak mengenali Tuhan Yesus ketika ia berbalik dan melihat Tuhan Yesus. Ia mengira bahwa itu adalah tukang kebun. “Tuan kalau Tuan mengambil dia, katakanlah di mana tuan meletakan Dia supaya aku dapat mengambil-Nya.” Rupanya kekalutan dan ketakutan membuat orang tidak dapat berpikir tenang, apalagi mengalami perubahan di dalam “kegelapan hidupnya”. Karena dalam kekalutan dan ketakutan kita hanya terfokus pada bayang-bayang menyeramkan yang ada di dalam pikiran kita. Di dalam ketakutan dan kekalutan kita tidak dapat melihat pengharapan, bahkan kita tidak dapat mengenali karya Allah. Kita memaksa diri untuk berubah, tapi kita tidak bisa berubah sehingga kita lelah-selelah-lelahnya!

Padahal yang kita perlukan untuk berubah dan berani menghadapi ketakutan itu adalah: ketenangan. Biasanya saat kita sedang kalut dan gelisah, kita memaksa diri untuk tenang, namun kita tidak bisa mendapatkannya. Karena itu, menurut saya ketenangan itu adalah anugerah Allah kepada kita melalui sapaannya. Seperti Tuhan Yesus yang menganugerahkan ketenangan kepada Maria ketika ia menyapa Maria Magdalena dengan namanya. Dan seketika itu juga Maria Magdalena sadar dan mengalami ketenangan.

Mengapa sapaan itu dapat menenangkan Maria? Kita ingat dalam Yohanes 10:3-5 dikatakan bahwa seorang domba mengenali suara gembalanya. Hal ini mungkin asing dan tak lazim dalam konteks Indonesia. Namun, dalam konteks bangsa Israel hal ini tidaklah aneh. Sang gembala biasa menamai dombanya dengan nama satu per satu. Lalu, domba pun mengerti siapa namanya dan mengenali suara gembalanya yang memanggilnya.

Karena itu, sapaan ini begitu bermakna bagi Maria karena Maria mengenali suara Tuhan Yesus. Ketika mendengar suara tuhan Yesus, Maria berpaling dan berkata, “Rabuni.” Dalam Alkitab NIV, istilah yang dipakai itu adalah “cried out” yang artinya berteriak dengan terkejut dan penuh sukacita. Seketika itu juga, kesedihannya digantikan oleh sukacita. Kesepiannya digantikan oleh kepenuhan. Kehilangannya digantikan oleh pengharapan. Kekalutannya digantikan dengan ketenangan. Ketakutannya digantikan oleh sukacita.

Di dalam hidup ini, apabila kita sedang merasakan perasaan-perasaan seperti yang dialami Maria Magdalena, percayalah bahwa suatu saat Tuhan akan menyapa kita. Domba yang baik akan mengetahui sapaan gembalanya. Saya dan rekan-rekan yang saya anggap sebagai “spiritual friends” saya sering berbagi kisah mengenai bagaimana Tuhan menyapa kita dalam masa-masa kalut dan takut. Entah melalui tulisan yang kita baca, entah melalui orang lain yang tidak kita kenal dan tiba-tiba berbicara kepada kita. Dan perjumpaan semacam ini begitu menguatkan. Ada rasa haru, tangisan yang melegakan, dan sukacita serta damai sejahtera.

Kembali pada Maria Magdalena, saya membayangkan bahwa larangan Tuhan Yesus, “Jangan memegang aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa” agak mengejutkannya dan mungkin agak aneh juga bagi kita yang membaca kisah ini. Pasti saja Maria ingin memegang Tuhan Yesus. Bukankah di bagian Injil lain, Tuhan Yesus menunjukkan lengannya dan menyuruh Tomas mencucukan jarinya ke dalam lambungnya. Mengapa perintah itu ditunjukkan? Beberapa penafsir mengatakan bahwa larangan ini diberikan agar Maria tidak terlena dan menerima berita itu untuk dirinya sendiri. Tuhan Yesus menyatakan kemendesakan tugas baginya untuk memberitakan kebangkitan-Nya kepada saudara-saudaranya.“

Hal ini membuktikan bahwa Kristus percaya kepada Maria Magdalena, seorang perempuan yang tidak dianggap pada masanya. Kristus mengutus Maria Magdalena --seorang perempuan yang pernah kerasukan tujuh roh jahat-- untuk menjadi saksi pertama atas kebangkitan-Nya. Bagi saya Maria Magdalena adalah seorang rasul perempuan karena ia telah berjumpa dengan Yesus yang bangkit dan juga diutus untuk menyaksikan berita kebangkitan Kristus. J
 
Refleksi atas Yohanes 20:11-23
Jakarta, 8 April 2016
YIR

Tidak ada komentar: