Rabu, 20 April 2016

Rekoleksi Memori Sebagai Anugerah Allah dalam Fase Liminalitas

Hari ini, dalam percakapan di kelas persiapan Sekolah Minggu ada percakapan yang menarik. Salah satu kakak layan bertanya, "Kenapa kita masih mengisahkan bahwa para murid masih sedih dan takut? Bukankah mereka sudah berjumpa dengan Kristus yang bangkit? Apakah hal ini tidak akan membuat anak-anak menjadi bingung" Salah seorang rekannya berkata, "Tidak apa-apa tokh! Memang itu faktanya. Kita juga yang sudah menerima anugerah keselamatan, masih merasakan naik turunnya hidup beriman?"

Dalam persiapan kali ini saya sangat menikmati perdebatan mereka. Bagi saya, anugerah kebangkitan Kristus tidak semerta-merta menghapus pedih, perih dan trauma dalam kehidupan para murid. Anugerah kebangkitan Kristus tak sejaya dengungan pada masa kanak-kanak kita, seolah-olah kebangkitan-Nya menyelesaikan dan menghapuskan segala masalah dan luka. Tokh, luka itu masih basah dan perih. 

Bagi saya, kisah-kisah perjumpaan Kristus dengan para murid paska kebangkitan-Nya menyimpan misteri hakiki tentang kehidupan manusia, dalam fase liminalitas. Kita dan para murid dan juga kita tidak semerta-merta berbalik 180 derajat karena kebangkitan Kristus. Kita hidup pada perbatasan rasa kecewa dan pengharapan. Kita terjepit dalam alam setipis tali antara keteraturan dan ketidakteraturan. Kita tersekap dalam celah tipis antara kesepian dan kehangatan.

Namun, dalam fase liminalitas itu, anugerah Kristus justru hadir dalam bentuk alternatif yang baru yakni memori yang manis. Memori yang manis menjadi anugerah Allah yang tak terperi. Injil Yohanes dengan tegas melukiskan kekuatan memori sebagai anugerah Allah. Perhatikan perjumpaan Tomas dengan Yesus yang merujuk pada "penggantian memori" akan tanda paku dan tombak. Kenanglah perjumpaan Yesus dengan para murid di tepi danau Tiberias yang mengembalikan memori pemeliharaan dan panggilan Allah saat kali pertama mereka jumpa Yesus. Resapilah  peristiwa Yesus membakar ikan dan menyiapkan roti yang mengingatkan para murid akan memori kehangatan makan bersama. Hayatilah pula perjumpaan Yesus dan Simon Petrus yang mengembalikan memori penyangkalan dan anugerah cinta-Nya yang besar.

Dalam momen liminalitas, Allah merekoleksi memori kita. Rekoleksi memori menjadi anugerah keselamatan dari Allah bagi kita. Memori yang dianugerahkan Kristus mengalir dalam batin dan menjadi sumber kekuatan bagi para penyintas luka. Melalui rekoleksi dan bahkan rekonstruksi memori, Kristus menolong kita menemukan kembali arah hidup kita dalam momen liminalitas. Dalam memori, peristiwa pedih perih tidak dapat dihapus, sebagaimanapun manusia berusaha memutuskan ingatan itu. Namun, dalam memori juga, tersimpan riak-riak manis yang menunjukkan bahwa kehidupan itu masih ada.


Sebuah Doa:

Ya Kristus....

Memori lekat dalam jiwaku
Kadang aku merasa memori ini bencana
Ketika aku ingat akan luka dan perihku
Kesunyian dan kesesakanku
dalam teriakan "Eli.. Eli.. Lama Sabakhtani?"

Tubuh jiwa dan roh ini sekarat!
Saat aku hidup dalam fase liminalitas
Dalam dominasi kebekuan dan bukan kehangatan
Dalam dominasi air mata dan bukan senyuman tipis
Dalam dominasi ketidakpastian dan bukan pengharapan

Ya Kristus,
Ijinkan aku merasakan pengalaman para murid
Ketika mereka menerima rekoleksi memori sebagai anugerah
Biarlah ingatan akan kehadiran dan sentuhan-Mu
Mendominasi memoriku dalam setiap fase liminalitas

Jakarta, 21 April 2016
YIL

Tidak ada komentar: