Kamis, 14 April 2016

Syalom bagi Orang-orang yang Hidup dalam Trauma: Diberikan cuma-cuma atau Diusahakan?


Tubuh perempuan berusia 33 tahun itu tiba-tiba berguncang. Keringat sebesar biji jagung mengalir deras dari pelipisnya. Ia mengambil tas gendongnya dan memeluknya erat-erat. Tangan dan kakinya gemetar. Teman-temannya yang hendak menonton di bioskop bersamanya hanya terheran-heran melihat keanehan tingkahnya. Kejadian itu terjadi tiba-tiba saja, ketika ada seorang laki-laki dewasa lewat di depan segerombolan perempuan yang sedang duduk-duduk menunggu pintu bioskop dibuka. Setelah agak tenang, perempuan bermata sipit itu menggigit bibirnya lalu berbisik perlahan kepada rekannya, “Laki-laki itu mirip dengan orang yang menjarah rumahku pada Mei 1998.”

 

Kisah itu adalah sepenggal kisah perjumpaan imajiner dengan seseorang yang mengalami trauma. Tentu saja, kisah imajiner ini bukan kisah sebenarnya, namun merupakan penyamaran dan sari-sari utama dari kejadian sebenarnya. Perempuan muda itu hidup dalam trauma. Trauma bukan sekadar luka fisik. Trauma adalah luka batin. Bagi orang yang trauma, ia tidak tinggal dalam dimensi masa kini, apalagi masa depan. Orang yang trauma tinggal dalam dimensi masa lalu dan tak dapat beranjak daripadanya. Bagi orang yang hidup dalam trauma terjadi pergeseran dimensi waktu. Yesterday is present because trauma is present! Hidupnya dipenuhi ketakutan dan bayang-bayang akan masa lalu. Bahkan, kemiripan fisik pun dapat memicu “teriakan luka” dari tubuh dan jiwa yang terluka. Bahasa tubuhnya menceritakan ada luka yang menganga. Trauma mempengaruhi cara pandang terhadap diri kita dan dunia di luar kita.

Pengalaman saya hidup bersama-sama dengan orang-orang yang mengalami trauma membuat saya bertanya-tanya apakah syalom sebagai sebuah anugerah dari yang illahi dan tidak perlu diusahakan? Atau apakah syalom itu pun perlu diusahakan –sesuai dengan tema penahbisan sahabat saya, Lan Yong Xing.  Bagi orang yang hidup dalam trauma, syalom  adalah hal yang sangat sukar untuk dirasakan. Mungkin kita berpikir bahwa penderitaan yang masih tertinggal dari trauma itu dapat segera hilang ketika diperhadapkan dengan teologi tentang penebusan dan kebangkitan. Karena itu orang yang ditebus dapat serta merta merasakan syalom. Akan tetapi, saya mengutip Shelly Rambo dan Serene Jones –-teolog-teolog yang mendalami trauma—yang berkata bahwa teologi semacam itu tidak dapat diterapkan kepada orang-orang yang mengalami penderitaan yang masih tertinggal karena trauma karena mereka adalah orang-orang yang sukar melihat kebangkitan dan pengharapan. Dengan demikian, Syalom pun menjadi sukar untuk dirasakan karena diri kita yang diciptakan seturut gambar dan rupa Allah itu ternodai oleh berbagai pengalaman pahit yang melilit kehidupan kita.

Akan tetapi, apakah berarti tidak ada pengharapan bagi orang-orang yang hidup dalam pengalaman traumatik? Apakah syalom memang tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang mengalami berbagai kejadian traumatik? Tentu saja masih bisa asal kita mengusahakan syalom. Karena itu, tema penahbisan rekan saya Yong Xing menjadi sangat relevan bagi orang-orang yang mengalami pengalaman traumatik.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mengusahakan syalom bagi orang-orang yang hidup dalam trauma? Saya meminjam pemikiran Shelly Rambo dalam melakukan trauma healing. Menurut Shelly Rambo, ada dua cara untuk menolong orang-orang yang mengalami trauma agar dapat “sembuh” dan merasakan syalom. Pertama, tracking the undertow. Kita diajak untuk menggali kedalaman yang tidak ada di “permukaan”. Kita dapat tersenyum, namun sebenarnya kita tak damai. Kita dapat terlihat kuat, namun sebenarnya kita rapuh. Ada luka yang masih tertinggal di dalam ruang batin yang tak terlihat. Karena itu, bersama-sama dengan Roh Kudus, kita diajak untuk memasuki perasaan kehilangan, kemarahan, dukacita dan kekacauan dalam hidup kita. Roh Kudus menyingkapkan dan menyaksikan realitas yang tertinggal di dalam bahasa trauma. Dengan memasuki kedalaman batin kita, kita akan mengenali siapa diri kita dan apa yang membuat kita tidak dapat merasakan syalom itu sendiri. Sehingga, kita kemudian akan tertantang untuk mengusahakan syalom.

Kedua, sensing life. Orang yang mengalami trauma hidup tapi seperti sudah mati karena sukar sekali merasakan kedamaian dalam hidup ini. Karena itu, kita perlu menolong orang-orang dalam trauma untuk merasakan bahwa masih ada kehidupan yang dipenuhi syalom. Dan itu berarti, kita tidak membombardir dia dengan kecaman “tidak beriman” ketika ia terpuruk dan tidak dapat merasakan kehidupan serta kehadiran Allah. Akan tetapi, kita justru menghayati dan menyadari bahwa hidup kita sangatlah rentan. Karena itu, kita siap dipakai Roh Kudus untuk menolong orang lain (dan bahkan diri sendiri!) untuk bangkit dari keterpurukan. Roh Kudus itulah yang memampukan orang-orang yang traumatis untuk merasa, melihat secara lebih tajam, dan mengecap kehidupan lebih sensitif. Rambo mencatat, “to reconnect a person to the world in the aftermath of a traumatic event, it is essential to first reconnect a person to the movements of her body, enabling her to reestablish and nagivate her physical connection to the world”.

Dalam trauma healing terjadi proses merasakan “kehidupan” kembali dan juga “rekonstruksi” ulang tentang arti syalom. Syalom bukanlah kondisi yang sesuai dengan keinginan kita: bayangan kemakmuran, tanpa masalah dan lain sebagainya. Syalom adalah kondisi di mana kita yang rapuh ini dapat berjuang melahirkan kedamaian dalam diri dan komunitas, bersama dengan Allah yang memberi kekuatan kepada kita.

Bagi saya, hidup berjemaat adalah hidup bersama-sama dengan orang yang penuh trauma karena setiap orang memiliki traumanya masing-masing. Trauma tidak hanya disebabkan oleh pelecehan seksual, namun oleh berbagai hal lainnya. Trauma dapat terjadi karena keretakan dalam rumah tangga, kehilangan orang yang dicintai, patah hati, gesekan dalam tubuh internal gereja, bencana alam dan peristiwa lainnya. Karena itu, menjadi seorang pendeta berarti berjalan dengan: (1) diri sendiri yang memiliki pengalaman traumatik; (2) anggota jemaat yang juga mengalami pengalaman traumatik; dan (3) dengan Allah sumber pemulihan.

Kerinduan Yong Xing untuk mengusahakan syalom, menurut saya salah satunya adalah kerinduan untuk megusahakan gereja menjadi sebuah “rumah pemulihan”bagi orang-orang yang mengalami trauma. Ini berarti ada sebuah impian akan kehangatan, keakraban, cinta kasih yang besar di dalam gereja. Tentu saja, usaha itu bukan hanya merupakan usaha manusia saja. Ada campur tangan Roh Kudus yang lebih besar dan tak dapat dibatasi sehingga setiap orang dapat merasakan karya Allah yang memulihkan itu.  Tentu saja, ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Saya yakin, Yong Xing tahu benar apa tantangannya. Karena itu, diperlukan kesabaran, ketenangan, ketulusan, kerendahan hati dan kerjasama baik dari Yong Xing maupun GKI Duta Mas.

Tak banyak yang dapat dituliskan dalam lembaran ini. Tulisan ini hanyalah menjadi semburat refleksi dalam perjumpaan dengan seorang sahabat yang saat ini akan ditahbiskan sebagai pendeta. Yong Xing, selamat mengusahakan syalom bersama dengan keluarga tercinta, GKI Duta Mas, seluruh rekan-rekan calon pendeta dan pendeta, masyarakat dan tentunya dengan Kristus, Sahabat kita! Proses kependetaan bukan berakhir pada pencapaian jabatan pendeta. Proses kependetaaan adalah proses perjalanan spiritual bersama dengan Allah dan umat. Biarlah dirimu menjadi setenang, selentur dan sekuat pohon bambu. Karena itu, apapun yang terjadi dalam perjalanan kependetaan nanti, ingatlah --seperti pesan yang YongXing juga pernah sampaikan pada saya— bahwa Kristus mengasihi kita yang rapuh ini apa adanya. J

Jakarta, 17 September 2015

tulisan untuk penahbisan Pdt. Lan Yong Xing,
dari teman Bina Kader
YIR


Jones, Serene. Trauma and Grace: Theology in a Ruptured World. Louisville: Westminster John Knox Press, 2009.

Rambo, Shelly. Spirit and Trauma: A Theology of Remaining. Louisville: Westminster John Knox Press, 2010.

Tidak ada komentar: