Sabtu, 19 Januari 2019

Menyesal Jadi Pendeta?

Kalau ditanya, apakah saya pernah menyesal menjadi pendeta? Dengan penuh kejujuran saya pernah menyesal memilih jalan ini, jalan yang ternyata tidak mudah. Khususnya, ketika mendapat fitnahan dari orang lain. Dikatakan ini dan itu. Bahkan sempat, ketika tidak sempat menyapa pun dikatakan sombong. Belum lagi, beragam pergumulan internal tentang mimpi, hidup dan cita-cita.

Beberapa hari lalu, kekecewaan ini muncul lagi. Adik saya menginfokan bahwa papa saya sakit. Sementara itu, saya sedang berada di Puncak, mengikuti bina pengampu organisasi. Pada malam itu, saya berdoa pada Tuhan. Saya katakan saya sedih. Koq masalah datang bertubi-tubi dalam segala aspek. Ini baru awal tahun 2019 loh....  Dada saya sesak.

Pagi harinya, saya semakin gelisah. Malam itu saya hanya tidur beberapa jam. Adik saya mengatakan bahwa kondisi papa masih kurang oke. Tak lama kemudian, Pdt. Robby menanyakan kondisi papa. Saya menceritakan dengan singkat. Tak lama kemudian, dia mengambil HP nya dan menelepon rekannya Pdt Robby katakan, "tolong papa dari rekan saya yg adalah pendeta." Rekannya mengatakan bahwa dia berjanji akan datang dan membantu mengurus di RS.

Beberapa saat kemudian, Pdt. Robby memberikan no HP dokter yang lain. Dia katakan, "Kamu segera telepon dia." Saya langsung menelepon dia dan menceritakan keadaan papa. Saya hanya bilang, "Saya menitipkan papa."

Di rumah sakit, papa dibantu oleh rekannya Pdt. Robby untuk mengurus jalur prioritas. Saya setuju saja dengan pertimbangan, uang itu bukan segalanya. Setelah diperiksa, papa diminta untuk segera di EKG pada pkl. 13.00. Akan tetapi, sekitar pkl. 11.45, papa terkena serangan jantung kronis di kantin RS tersebut. Adik saya panik dan hanya mengirim whatsaap ke saya. Saya hanya berkata, bawa ke IGD. Namun, papa sudah tidak kuat berjalan. Untunglah, ada kursi roda yang nganggur. Adik saya langsung berlari dan mengantar papa ke IGD.

Di IGD, dr. Tammy sudah menanti. Dia adalah anggota jemaat salah satu GKI di Bandung. Ia segera membantu mengurus semuanya. Bahkan, papa langsung dipasang ring pada pkl. 13.00. Bahkan, BPJS pun dapat diurus.

Saat hendak dioperasi, kami berdoa bersama. Kami sadar, dengan kondisi serangan jantung kronis seperti itu, ia berada dalam batasan antara hidup mati. Namun, pertolongan Tuhan sungguh nyata. Papa selamat!

Saya belajar dari kisah mukjizat Yesus yang pertama kali, air menjadi anggur. Maria tahu bahwa Tuhan Yesus bisa melakukan mukjizat walaupun Maria belum pernah melihat Anaknya melakukan mukjizat. Ia mendorong Tuhan Yesus untuk melakukan mukjizat. Namun, Tuhan katakan saatKu belum tiba.

Tidak digambarkan dengan jelas, apa yang dipikirkan oleh Maria saat itu. Mungkin dia bete, mungkin dia pasrah. Yang jelas Maria tidak memaksa Tuhan Yesus melakukan apapun lagi. Ia hanya berkata agar para pelayan mengikuti perintah Tuhan Yesus. Itulah Maria, seorang ibu yang kompleks dan mendalam. Merenungkan banyak hal di dalam hatinya.

Saya memang tidak sekuat Maria. Saya memang tidak seberiman Maria. Saat Tuhan belum menjawab doa saya. Atau saat Tuhan hening tak bicara, saya kerap kali memaksa Tuhan untuk bicara. Dada saya sesak dan dipenuhi kecemasan akan sesuatu yang tak pasti. Bahkan tadi, saya sempat menyesal menjadi seorang pendeta. Karena saya merasa hidup saya menjadi sulit dan rumit. Namun, Tuhan tahu yang baik dan indah untuk saya tepat pada waktu-Nya. Dia berproses dengan saya dalam keraguan saya. Dia mencintai saya dalam ketakutan saya. Dia mengangkat wajah saya untuk melihat pengharapan dalam ketakutan-ketakutan yang kadan tidak saya mengerti seutuhnya.

Jadi, apakah saya menyesal menjadi pendeta? Jujur, saya pernah menyesal. Tapi saya juga harus jujur, bahwa saya bersyukur karena pertolongan Tuhan nyata lewat apa yang saya jalani sebagai pendeta. Meski ada doa saya yang belum terjawab dan rasanya pahit karena menahan sesak, Tuhan yang menolong saya belajar berpengharapan. Karena, saya tahu saya sudah tidak bisa belajar berpengharapan dengan kekuatan saya.

Kebahagiaan pesta perkawinan di Kana adalah sukacita yang deg deg ser. Kebahagiaan yang didapat dalam momen krisis. Kiranya sukacita pada saat itu, dapat kita rasakan juga saat ini. Menanti dan berpengharapan dalam sesak.

19 Januari 2019
Perjalanan Bandung Jakarta
Bus Primajasa

Tidak ada komentar: