Minggu, 03 Juni 2012

Berkaca pada Allah yang Merasa Tak Nyaman


            Peristiwa kenosis dalam inkarnasi Kristus adalah sebuah bukti bahwa Allah berani mengambil posisi yang tidak nyaman. Allah yang transenden (trans = melewati atau berada di seberang dan sedere= duduk) itu kini duduk bersama-sama dengan kita. Ia merasakan secara langsung pergumulan umat manusia yang memiliki keterbatasan. Peristiwa kesediaan Allah yang tak terbatas untuk menjadi yang terbatas adalah sebuah bentuk komitmen cinta kasihNya terhadap manusia. J. Moltmann mengatakan bahwa cinta kasih Allah ini adalah suatu bentuk divine-self-humilition. Allah adalah Allah yang memiliki kerendahan hati untuk meninggalkan zona nyaman-Nya untuk berelasi dengan manusia.
            Dalam kehidupan bergereja, peristiwa perjamuan kudus menjadi peristiwa yang sangat kunikmati. Pada saat perjamuan kudus, jemaat dari berbagai lapisan ekonomi, etnis dan usia (walaupun sayangnya anak-anak belum ikut serta!) yang berbeda dapat menikmati perjamuan Tuhan tanpa adanya pembedaan hak. Semua mendapat roti dan anggur dan mengenang karya Kristus. Semua umat diajak meninggalkan zona nyamannya yang dibentengi oleh kemapanan ekonomi dan kenyamanan rasial.
Setidaknya, kondisi gereja-gereja di Indonesia kini sudah tidak seperti kondisi gereja-gereja di Amerika pada zaman Martin Luther King yang sangat eksplisit mempertontonkan kemegahan segregasi dan diskriminasi etnis serta ekonomi.Namun, bukan berarti kita dapat berleha-leha. Jangan-jangan apa yang kita rasakan saat ini hanyalah sebuah fenomena gunung es. Jangan-jangan segregasi etnis dan ekonomi masih ada di dalam gereja kita, namun kesungkanan membuat kita enggan mengakuinya. Lepas dari benar atau tidaknya ketakutanku ini, mari kita menelisik bagaimana kondisi bergereja kita di mana pun kita berada, bahkan dari hal-hal yang terkecil dan samar sekalipun.
Teladan Kristus dalam peristiwa inkarnasi ini menjadi inspirasi bagiku (dan mungkin bagi pembaca), sekaligus menjadi pisau bedah untuk membedah dinamika kehidupan bergereja dan tentunya membedah diriku sendiri. Berkaca dari Kristus yang berani berinkarnasi dan meninggalkan zona nyaman-Nya, jika memang segregasi dan diskriminasi itu masih ada dalam kehidupan bergereja, umat pun harus diajak untuk melangkah menuju periferi kehidupan dan merasakan ketidaknyamanan. Bergaul dengan orang yang berbeda tentunya tidak nyaman karena kita harus meredam prasangka dan bahkan merasakan apa yang Jacques Derrida sebutkan sebagai hostility dalam keberanian untuk beramah-tamah dalam zona yang tak nyaman.
Tentunya, keberanian untuk berani mengajak umat meninggalkan zona nyaman ini menuntut keberanian di dalam diri sendiri untuk juga meninggalkan zona nyaman yang kita rasakan. Pada titik ini, kerendahan hati Allah untuk meninggalkan zona nyaman menjadi pisau bedah yang membuka selubung kesombongan dan keengganan yang ada dalam diri kita. Tentunya menyampaikan sesuatu yang bersifat profetik bukanlah hal yang mudah. Apalagi, mungkin yang harus kita hadapi adalah para pemegang tahta dan harta yang mungkin saja secara tidak langsung membuat kita merasa nyaman. Dengan meneladani Kristus, Johannes Hus, Martin Luther, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Junior, Oscar Romero dan sejumlah tokoh lainnya telah mendahului kita untuk menyampaikan suara profetik yang menggoyang para penikmat beragam zona zaman pada masa dan tempatnya masing-masing. Tentunya, perjalanan mereka tak mudah dan berat.
Kita pun akan merasa sangat berat untuk beranjak dari zona nyaman masing. Tentu saja, siapakah aku ini yang dapat sanggup meninggalkan zona nyamanku? Hanya Allahlah yang dapat terus menempa kita untuk melampaui zona nyaman yang ada. Hanya Allah yang memberikan keberanian untuk menyuarakan suara kenabian, entah dalam khotbah dan teguran. Jika pada suatu saat nanti dalam pengembaraan yang kita lalui, kita harus menjumpainya, kiranya Allah yang memberikan kita kerendahan hati dan keberanian untuk beranjak dari kenyamanan dan menyampaikan suara kenabian.

Tidak ada komentar: