Aku sering menulis tentang pentingnya
keberanian untuk meninggalkan zona nyaman. Selain diriku, ada banyak teolog
lain yang menulis tentang pentingnya melangkah meninggalkan zona nyaman. “Life begin at the end of your comfort zone!”
kata Neale Donald Walsch, penulis buku Conversations
with God. Aku mengakui bahwa melangkah dari zona nyaman adalah hal yang
penting.
Namun, tiba-tiba terlintas dalam benakku,
“Apakah zona nyaman itu tak penting?” Pertanyaan ini mungkin menjadi sebuah
penyeimbang atas berbagai pernyataan yang menekankan pentingnya memasuki zona
tak nyaman. Bagiku, zona nyaman itu tetap penting. Pernyataanku ini menjadi
kontra posisi terhadap pernyataan Walsch yang menekankan bahwa seseorang baru
memulai kehidupannya setelah dia memutuskan untuk meninggalkan zona nyamannya.
Manusia sungguhlah unik. Ada
orang-orang yang baru dapat merasakan kehidupan dan mengekspresikan dirinya setelah
ia merasa nyaman. Eka Darmaputera -dalam bukunya yang berjudul Sepuluh Orang yang Menyebalkan dan Cara
Menghadapi Secara Alkitabiah- mengatakan bahwa kita harus menciptakan ruang
kenyamanan bagi orang-orang yang tidak dapat mengekspresikan dirinya atau ragu
memberikan pendapatnya. Ketidakberanian dan keraguan mereka dapat disebabkan
tidak adanya zona nyaman.
Dalam bahasa pembangunan jemaat,
pendapat Eka ini dapat kita sejajarkan dengan apa yang diusung oleh Jan Hendriks
sebagai iklim yang positif. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
dalam pembangunan jemaat adalah iklim yang positif. Zona nyaman dalam rupa
iklim positif perlu dibangun untuk meningkatkan kegairahan jemaat. Kita
bersama-sama menciptakan ruang nyaman bagi kehidupan bergereja agar muncul
kerelaan hati untuk berpartisipasi dalam misi gereja. Dalam zona nyaman, relasi
yang dibangun adalah relasi subjek-subjek. Aku mengakui kau sebagai subjek
sehingga aku mau membuat dirimu merasa nyaman, demikian juga sebaliknya. Aku
bukanlah objek. Kau pun bukanlah objek.
Bukankah tindakkan menciptakan ruang
nyaman ini juga yang dilakukan oleh Yesus? Yesus menciptakan zona nyaman bagi
pemungut cukai, perempuan yang dikucilkan oleh masyarakat, orang-orang Samaria,
dan orang-orang yang dikucilkan lainnya. Mereka yang enggan dan takut untuk bersuara,
kini bersuara karena mereka merasa nyaman saat bergaul dengan Kristus.
Beranjak dari pentingnya zona nyaman
ini, marilah kita melihat kehidupan bergereja kita. Apakah diri kita sudah membangun
zona nyaman bagi orang lain? Ataukah kita malah menjadi orang yang menciptakan
zona tak nyaman bagi orang lain? Sikap sinis, iri hati, dendam kesumat,
memilih-milih orang untuk bergaul, membicarakan orang “di belakang”, menjadikan
firman Tuhan sebagai sarana untuk menyerang orang lain, menyalah-gunakan otoritas gerejawi adalah sikap-sikap yang
kontra terhadap pembangunan iklim positif dalam kehidupan bergereja. Bagaimana iklim
gerejamu, seperti “neraka” atau “surga”? Ujilah dan tiliklah.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar