Dua kali empat! Ukuran rumahnya hanya 2X3.
Rumahnya beralaskan tanah dan beratapkan atap oranye yang tentunya dapat ditembus
air cucuran hujan. Lemari rusak, barang-barang rongsok dan botol plastik bekas
yang dikumpulkan untuk dijual, memenuhi ruangan berukuran 2X3 itu. Hanya ada tiga
buah kursi plastik untuk duduk. Ya, itu adalah rumah milik seorang perempuan
tua yang kusebut dengan sebutan “Ema”
(ema adalah panggilan orang Hokkian terhadap
nenek). Ema sudah terlalu banyak
merasakan pahit getirnya hidup.
Dia sudah berkali-kali merasakan
kehilangan. Dalam rentang umurnya yang sudah tiga per empat abad, sudah terlalu
sering ia mencucurkan air mata. Ia hanya pedagang kios kecil-kecilan. Semesta
pun menunjukkan sengatnya ketika raja setan mencekik lehernya seraya merampas
uangnya yang sedikit itu dengan cara yang kejam. Batinnya perih. Belum lama
perasaan kehilangan itu sembuh, saat ibunya baru berpulang ke pangkuan Bapa
setahun lalu. Kini, air mata itu harus tumpah kembali saat ia harus kehilangan
seorang anaknya yang menemaninya sejak sekitar 40 tahun yang lalu. Sungguh berat
rasanya kehilangan orang yang melahirkan kita ditambah lagi kehilangan orang
yang kita lahirkan.
Aku tak bisa berucap apapun selama 10
menit pertama ketika memasuki rumahnya. Aku membayangkan, bagaimana ia bisa
hidup sebatang kara, tanpa penghasilan. Pernah ia diajak untuk pergi dari kota
ini untuk tinggal bersama dengan keluarganya di kota lain. Namun ia menolak. Ia
menolak karena cintanya pada Tuhan dan gerejanya.
Perjumpaan dengannya membuatku
berpikir ulang tentang peran gereja sebagai jembatan. Jembatan berfungsi untuk
menghubungkan satu tempat ke tempat lain yang terpisah oleh jurang dan sungai. Gereja
(dalam konteks ini izinkanlah saya mempersempit terminologi gereja sebagai
orang-orang yang terlibat menjadi pegiat gerejawi) sebagai jembatan juga
berfungsi untuk menghubungkan pergumulan penghuni rumah ukuran 2X3 dengan kerinduan
penghuni rumah ukuran 20X30 meter..
Di dalam rumah ukuran 2X3 itu tinggal Ema,
seorang anak Tuhan yang sungguh setia. Ia sedang bergumul dalam kesedihannya.
Sementara itu, dalam rumah ukuran 20X30
ada anak-anak Tuhan yang mendapatkan berkat lebih. Mereka dianugerahkan materi
yang tidak dimiliki Ema, anak Tuhan yang tinggal dalam rumah beralaskan
tanah dan beratapkan genting bocor.
Memiliki harta dan kekayaan tentu tidaklah
salah. Penghuni 20X30 mungkin juga memiliki kerinduan untuk mengulurkan tangan
kepada penghuni 2X3. Mungkin mereka hanya kurang tahu bagaimana menyalurkannya.
Menurutku, di sinilah peran gereja sebagai jembatan. Ya, gereja adalah jembatan. Gereja bukanlah toko emas yang hanya memamerkan deretan emas-emas mahal yang tak terjangkau oleh pembeli. Gereja bukanlah tempat penimbunan harta kekayaan yang tolok ukur keberhasilannya diukur dari berapa banyak aset, emas dan tanah yang bisa dikumpulkan dalam rentang periode tertentu.
Dengan meminjam serta mengembangkan doa Franciscus dari Asisi, "Kiranya Allah mengaruniakan kepada kita air mata untuk berbela rasa kepada mereka yang menderita sehingga kita dapat menjadi jembatan." Ya, kiranya Allah memberikan kita hati yang tak tentram sehingga kita mau menjadi jembatan dalam memikirkan dan mengaplikasikan cara-cara untuk menghubungkan kerinduan penghuni 20X40 dengan pergumulan penghuni 2X3. Selamat berdiakonia!
Dengan meminjam serta mengembangkan doa Franciscus dari Asisi, "Kiranya Allah mengaruniakan kepada kita air mata untuk berbela rasa kepada mereka yang menderita sehingga kita dapat menjadi jembatan." Ya, kiranya Allah memberikan kita hati yang tak tentram sehingga kita mau menjadi jembatan dalam memikirkan dan mengaplikasikan cara-cara untuk menghubungkan kerinduan penghuni 20X40 dengan pergumulan penghuni 2X3. Selamat berdiakonia!
12 Juli 2012
YIL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar