“Manusia adalah makhluk yang paling sempurna
karena manusia memiliki akal budi.”
Kalimat pernyataan itu kudengar
berulang kali saat aku mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar dan
sekolah lanjutan. Pernyataan itu menggelitik diriku. Aku jadi bertanya-tanya.
Jika manusia paling sempurna, mengapa manusia berdosa? Bukankah sesuatu
dikatakan sempurna jika ia tidak bercacat cela. Bukankah sesuatu yang sempurna
tidak memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa?
Ah, kalimat pertanyaan seperti
itu muncul karena percikan-percikan pengaruh pemikiran di abad pencerahan yang
terlalu menekankan pentingnya akal budi. “Corgito
ergo sum!“ kata Descartes. Katakanlah dalam hipotesis awal refleksi ini,
aku kurang setuju dengan para pemikir abad pencerahan yang terlalu menekankan
pentingnya akal budi untuk menunjukkan eksistensi manusia. katakanlah, aku juga
tidak setuju dengan pernyataan bahwa manusia adalah makhluk yang paling
sempurna karena memiliki akal budi.
Manusia tidak sempurna? Apakah
itu berarti aku menghina Sang Pencipta? Apakah ini berarti aku merendahkan
karya Sang Pencipta? Tidak, sekali-kali
tidak. Aku hanya berteologi dari beberapa fragmen pengalaman hidupku saja.
Tentunya, teologi operatif ini masih dapat disanggah jika memang tak relevan.
Bagiku,
Tuhan menciptakan manusia dengan amat baik namun tidak sempurna. Sempurna itu
sudah pasti baik. Namun, baik belum tentu sempurna. Aku meminjam sejumput
pemikiran Gerrit Singgih dalam penafsiran kisah Kejadian 1-3. Baginya, manusia
tidaklah sempurna. Ia menafsirkan penciptaan manusia sebagai sesuatu yang amat
baik dan bukan sempurna. Kata tob
dalam bahasa Ibrani diterjemahkan sebagai kata baik dalam bahasa Indonesia.
Kesempurnaan mengandaikan sebuah
sistem yang an sich tertutup. Sesuatu
yang sudah sempurna tidak perlu disempurnakan lagi. Jika Allah menciptakan
manusia sebagai makhluk paling sempurna, itu berarti manusia tidak perlu
mendapat pembaharuan karena penciptaan sudah mencapai puncaknya. Segala sesuatu
akan menjadi stagnan dan tidak perlu ada yang diperbaharui.
Sebaliknya, pandangan bahwa
Allah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang baik dan bukan sempurna
memungkinkan kita untuk memahami bahwa penciptaan itu adalah suatu sistem yang
terbuka sekaligus tertutup pada dirinya sendiri. Mengutip pendapat Juergen
Moltmann, di satu sisi penciptaan adalah suatu sistem yang terbuka. Ia terbuka
karena ia berada dalam sebuah proses perkembangan yang belum selesai, dari yang
belum sempurna menuju kesempurnaan. Walaupun aku juga perlu mengakui bahwa
dalam prosesnya sesuatu yang baik itu belum tentu berkembang menjadi lebih
baik, kita tetap berpengharapan bahwa setelah fase destruksif itu pemulihan
akan terus terjadi. Di sisi lain, penciptaan menjadi menjadi sistem yang
tertutup dalam kerangka tujuan penciptaan itu sendiri, yakni menyingkapkan
kemuliaan Allah pada saat penyempurnaan Kerajaan-Nya kelak.
Penafsiran
bahwa Allah menciptakan manusia itu baik adanya namun tidak sempurna,
setidaknya membantuku untuk merefleksikan pengalamanku beberapa waktu lalu
ketika aku berjumpa dengan seorang eksibionis[1].
Siapa yang menyangka berjumpa dengan seorang eksibionis di pagi buta? Awalnya aku jijik dan muak ketika berjumpa
dengan dia yang memamerkan penisnya yang sedang ereksi di hadapanku. Apa maksud
Tuhan memberikanku kejutan dengan mempertontonkanku hal seperti itu saat aku
hendak berangkat doa pagi? Aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menulis
refleksi atas pengalamanku ini. Eureka! Pemahaman di atas membantuku untuk
merefleksikannya.
Seorang eksibionis itu juga
dilahirkan ke dunia dengan baik adanya. Namun, ada hal-hal yang membuatnya
menjadi “tak baik”. Meminjam pemikiran psikolog, ada beberapa faktor psikologis
yang mendorong seseorang untuk menjadi seorang eksibionis. Orang yang pada masa
kecilnya terlalu ditekan akan mengalami hal ini. Tidak hanya itu, orang yang
depresi dalam mengarungi bahtera rumah tangganya pun dimungkinkan untuk menjadi
seorang eksibionis. Aku mencoba memahami
bahwa orang ini pun pada dasarnya baik. Hanya saja, dalam proses
perkembangannya sebagai seorang manusia ia mungkin banyak mengalami distraksi
sehingga ia menjadi seperti yang sekarang.
Aku masih berpengharapan bahwa
satu saat nanti dia menjadi seseorang yang kembali menjadi baik. Tentunya,
pengharapan ini bercorak prolepsis. Kita bergerak maju dan Kerajaan Allah itu
bergerak mendekat. Kita bergerak maju untuk menjadi mitra Allah dalam
menghadirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Apa yang dapat kita (baca:
gereja) lakukan? Menurutku, gereja harus peka terhadap
permasalahan-permasalahan yang menjalar dalam tataran masyarakat (termasuk
persoalan sang penderita eksibionis ini) dan jangan berdiam diri. Tokh Allah
juga mengundang kita- manusia yang pada dasarnya baik namun tidak sempurna ini-
untuk berproses di dalam Allah menuju ke arah kesempurnaan itu. Hmmmh, andai
saja Tuhan memberikanku kesempatan kedua untuk berjumpa dengan seorang
eksibionis itu, maka aku akan..... J
YIL,Temanggung, 21 Juli 12
[1]
Eksibionis memiliki akar kata yang mirip dengan exhibition, yang artinya
pameran. Eksibionis adalah orang-orang yang memiliki dorongan fantasi seksual
untuk memamerkan alat genitalnya (lelaki biasanya memamerkan penis, sementara
perempuan biasanya memamerkan bokong, payudara dan alat vitalnya) kepada orang
lain (lihat http://psikologiabnormal.wikispaces.com/Eksibisionis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar