Kamis, 21 Juni 2012

Pentakosta di Desa itu


Pada hari pentakosta, seorang pengembara berjalan menyusuri sebuah desa untuk mencari sebuah gereja. Dalam perjalanannya, ia melihat seorang perempuan tua yang sedang duduk di samping puing-puing rumahnya. Matanya bengkak. Air matanya sudah hampir mengering. Ia menatap puing-puing itu dengan tatapan hampa. Angin kencang menerpa tubuh perempuan tua yang kurus itu, seolah-olah ingin menertawakan kepedihan perempuan itu. Pengembara itu, berhenti sejenak. Ia menghampiri perempuan itu dan berusaha untuk menyelami riak-riak pergumulannya.

Pengembara     : “Mengapa wajahmu muram?”
Perempuan       : “Tak cukupkah kondisi ini menyiratkan pergumulanku?”
Pengembara     : “Tak cukupkah engkau meratap untuk kebakaran yang terjadi pada malam lalu? Ini hari Pentakosta! Bergegaslah ke gereja bersamaku!”
Perempuan       : “Apalah artinya bagiku untuk merayakan Pentakosta? Hartaku habis. Apa yang hendak kubawa? Bukankah tanda-tanda kehadiran Roh Kudus, yang berupa api dan angin kencang itu, justru menghancurkan satu-satunya harta yang kumiliki?”
Pengembara     : “Maksudmu?”
Perempuan       : “Lihatlah ceritera pentakosta itu! Lidah api dan angin keras itu menjadi hal yang sangat menyeramkan bagiku dan bagi orang-orang yang rumahnya terbakar! Bagaimana aku dapat memaknai kisah Pentakosta dalam titik nadir ini? Untuk apalah aku pergi ke gereja? Biarlah aku meratap dalam tangis di depan puing-puing rumahku yang masih tersisa ini.”
Pengembara     : “…….”

Pengembara itu tak dapat menjawab gelombang pergumulan perempuan tua itu. Hatinya risau. Kegamangan meliputi dirinya. Ia mulai menyadari betapa sulitnya si perempuan itu untuk memahami makna pentakosta dalam pergumulan hidupnya.  Angin dan lidah api menjadi simbol yang sangat menyentuh bagi para murid pada saat pencurahan Roh Kudus terjadi. Namun, angin dan api itu menjadi symbol yang sangat menyeramkan bagi perempuan yang meratapi nasibnya itu. Pengembara itu pun meninggalkan perempuan itu dan melanjutkan perjalanannya menuju gereja.
            Di gereja ia melihat berbagai hasil panen dikumpulkan oleh warga desa. Hal ini tentu saja berbeda dengan kebiasaan orang kota, yang menggantikan hasil panen dengan persembahan berupa uang. Tampaknya, di desa ini tradisi pengumpulan hasil panen, seperti yang dicatat dalam Keluaran 23:16, masih dipertahankan.
Tapi, tunggu dulu! Ada yang aneh dalam perayaan Pentakosta di gereja ini. Wajah anggota jemaat di tempat ini muram dan tak seceria pakaian yang mereka pakai serta hasil panen yang mereka bawa. Sang Pengembara pun terheran-heran melihat situasi ini. Sebagai pendatang baru, ia tidak banyak bicara. Ia diam dan mengamati teka-teki kemuraman saat Pentakosta ini. Teka-teki ini terdedah saat pendeta setempat menyampaikan refleksinya terhadap Kisah Rasul 2 dan terhadap konteks desanya di hari pentakosta kali ini.
Pendeta            : “Ada dua hal yang menjadi ciri utama dalam hari Pentakosta pada gereja mula-mula. Pertama, semua orang percaya berkumpul di suatu tempat. Tak ada orang percaya yang tidak hadir dalam perkumpulan itu. Saya membandingkannya dengan perayaan Pentakosta pada hari ini. Apakah semua anggota jemaat di gereja ini hadir? Tidak! Kita tidak merasakan kehadiran saudara seiman kita yang baru saja mengalami musibah kebakaran. Saya melihat raut muka saudara sekalian muram. Mungkin, di antara kita juga mengingat mereka yang pada saat ini tidak bersama-sama dengan kita karena rumahnya porak poranda dilahap api yang dibawa angin itu. Ya, inilah kali pertama Pentakosta yang menyedihkan di desa ini.
            Ciri kedua dari Pentakosta pada gereja mula-mula adalah peristiwa dicurahkannya Roh Kudus yang ditandai dengan adanya tiupan angin keras, lidah api dan bahasa yang dikaruniakan Roh itu. Peristiwa ini sungguh mencengangkan bagi jemaat pada saat itu dan juga bagi orang-orang yang berada pada saat itu. Namun, bagi jemaat yang rumahnya terbakar pada saat ini api dan angin menjadi sesuatu yang menakutkan. Bagaimanakah kisah ini dapat didengungkan bagi mereka yang rumahnya dihancurkan api dan angin keras?
             Saudara, yang menjadi panggilan kita pada saat ini adalah bagaimana menyampaikan berita Pentakosta kepada mereka yang rapuh, tak berdaya. Ada tiga hal yang harust kita lakukan. Pertama, nyatakanlah api kehangatan cinta Roh Kudus kepada mereka yang rapuh itu. Kobarkanlah semangat untuk menyapa mereka dengan uluran tangan kita. Kobarkanlah api Roh Kudus yang tak pernah padam menyinari dunia yang ringkih. Kedua,  hembuskanlah angin kedamaian bagi mereka yang berada dalam kegalauan, paska bencana itu. Hadirlah bersama-sama dengan mereka yang menderita untuk menjadi sarana Roh Kudus untuk membangkitkan dan menghangatkan jiwa yang kehilangan asa. Ketiga, suarakanlah bahasa cinta, bahasa yang dapat dipahami oleh semua orang di dunia ini. Kita memang memiliki keragaman bahasa, namun bahasa cinta menjadi bahasa dari Roh Kudus yang dapat dipahami oleh semua makhluk. Bukankah bahasa cinta adalah bahasa yang terus hadir sebagai karunia dari Roh Kudus itu? Mengapa kita enggan menggunakannya? Marilah kita bergandengan erat untuk menyatakan bahasa cinta lewat uluran tangan kita kepada mereka. Biarlah mereka yang berada dalam himpitan pergumulan pun merasakan curahan Roh Kudus yang terus melimpah dalam persekutuan umat Tuhan hingga saat ini.”

Si pengembara tertegun mendengar khotbah pendeta tersebut. Ia mengerti mengapa desa itu dipenuhi kemuraman pada saat Pentakosta di tahun itu. Dia pun mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanannya ke tempat lainnya. Ia pun memutuskan untuk mengembara menyebarkan api, angin, dan bahasa cinta melalui kehadirannya bersama-sama dengan para korban kebakaran di desa itu. Ya, Roh Kudus pun terus hadir. Hembusan Roh Kudus menembus kebekuan hati mereka yang awalnya tak peduli. Kobaran api cinta Roh Kudus terlukis dalam semangat warga desa itu untuk membangun rumah warga yang terbakar. Bahasa kasih terpancar dari dukungan warga jemaat bagi penduduk yang rumahnya terbakar. Ya, bahasa kasih itu dinyatakan kepada korban kebakaran yang adalah anggota jemaat mereka dan bahkan kepada korban kebakaran yang tidak seiman dengan mereka.

Selamat mendulang makna Pentakosta dari kisah ini!
Kobarkanlah Api Cinta, Hembuskanlah Angin Kedamaian, Suarakanlah Bahasa Cinta!

Yesie Irawan
ditulis untuk Buletin Mercusuar, GKI KP

Tidak ada komentar: