Kamis, 16 Agustus 2012

Pemakaman Pertama: Memakamkan Seorang Penerjemah Kasih Allah

            Aku terkejut, ketika aku dan temanku mendapat telepon dari gereja. Ah ternyata, ada seorang anggota jemaat yang meninggal. Beritanya simpang siur, ada yang berkata bahwa yang meninggal adalah seorang perempuan tua yang sudah sakit-sakitan. Lalu, ada yang berkata bahwa yang meninggal adalah anak laki-laki dari perempuan itu.
Di tengah kesimpang siuran itu, jantungku berdebar kencang. Perasaanku berkata bahwa aku harus memakamkannya karena pendeta jemaat di tempatku praktek sedang tidak ada di tempat. Perasaan tegang tidak karuan itu langsung surut dan berganti menjadi perasaan sedih, setelah aku mengetahui dengan pasti siapa yang meninggal.
Dia yang meninggal dan harus kumakamkan adalah laki-laki yang sangat menarik perhatianku, sejak aku pertama kali datang ke jemaat ini. Laki-laki itu sering datang terlambat ke gereja. Pakaiannya tidak mewah, bahkan kadang lusuh. Namun, kepada orang inilah aku kagum. Dalam dirinya kutemukan nilai kegigihan, rasa syukur dan kecintaan yang tulus pada Tuhan.
            Laki-laki ini sering terlambat karena dia tidak memiliki kaki yang mudah diayunkan untuk melangkah, seperti kakiku. Badannya bongkok, karena tulangnya yang menonjol. Dia harus berjalan mundur sambil bertumpu pada kedua tongkatnya untuk naik ke gedung gereja. Sesuatu yang sering kita sebut sebagai “keterbatasan” dalam dirinya, tidak membuatnya merasa dibatasi. Tak ada yang dapat membatasi kecintaannya kepada Tuhan, bahkan kondisinya yang buruk pun tidak.
Ia berbeda dengan sebagian besar penduduk bumi yang lebih suka menengadahkan tangannya untuk meminta belas kasihan orang. Ia bukanlah peminta-minta. Sekitar 20 meter dari rumah kosnya yah hanya sepetak, ia membuka kios rokok kecil-kecilan. Usahanya ini pasang surut. Ada banyak orang yang berbelas kasih. Mereka merelakan uang kembaliannya untuk dinikmati oleh laki-laki yang berusia empat puluh lima tahun ini. Namun, ada juga orang-orang yang jahat. Berkali-kali kiosnya dirampok. Oh, manusia memang kejam dan tidak ada bedanya dengan predator.
Walaupun menurut kacamata kita, hidupnya penuh penderitaan, dia begitu menikmati hidupnya dengan penuh ucapan syukur. Dalam peribahasa Jawa, dirinya nampi lakon ingkang prihatin (menerima kenyataan hidup yang berlumuran kesulitan). Ungkapan doa Reinhold Niebuhr, “God grant me the serenity to accept the things I cannot change; courage to change the things I can and wisdom to know the difference.” telah nyata jelas dilakoni olehnya. Penerimaannya akan kenyataan dirinya membuat laki-laki yang tampak lebih tua dari orang-orang sebayanya ini dapat menjalani kehidupannya dengan penuh ungkapan syukur.
Oey Liong Tjoan, engkau meninggal dengan terhormat. Engkau begitu dikasihi oleh orang banyak. Bahkan, dalam kematianmu, batas segregasi agama dan rasial pun menjadi luntur. Engkau dapat dimakamkan di tengah-tengah kuburan orang Muslim dan pribumi[1]. Ketionghoaan dan kekristenanmu tidak menjadi penghalang bagi orang lain untuk mengasihimu.
Mengapa?  Dengan mengutip apa yang disampaikan oleh Eka Darmaputera, aku menyatakan bahwa engkau benar-benar menjadi penerjemah berita Injil di dunia ini. Engkau menunjukkan nilai kegigihan, di tengah dunia yang pragmatis dan serba instan. Engkau menjalani hidup dengan penuh syukur, di tengah dunia yang rakus dan konsumtif. Engkau membaktikan hidupmu untuk mencintai Tuhan, di tengah dunia yang menggeser Allah dengan Mamon. Engkau mencintai sesamamu, di tengah dunia yang penuh pengkotak-kotakkan.
Ibadah pemakamanmu menjadi kenangan yang sangat berharga bagiku. Bukan semata-mata karena ini adalah pemakaman pertama yang kulayani, melainkan karena aku memakamkan orang yang sangat istimewa di hadapan Tuhan. Aku memakamkan Oey Liong Tjoan, sang penerjemah berita Injil. Engkau membuatku benar-benar mengerti akan berita Injil. Melaluimu, aku diingatkan untuk terus menerjemahkan berita Injil di dalam hidupku.

YIL, Temanggung, 16 Agustus 2012



[1] Dalam konteks ini, kuburan orang Kristen biasanya dipisahkan dengan kuburan orang Muslim. Kuburan orang Tionghoa biasanya dipisahkan dengan kuburan orang pribumi. Pemisahan ini merupakan warisan pemerintah kolonial. Sebenarnya, di balik hal-hal yang sudah kita anggap biasa ini, terkandung sebuah segregasi rasial dan agama yang dilahirkan pemerintah Belanda melalui politik devide et impera. Sungguh menyedihkan! Segregasi etnis dan agama tidak hanya terjadi pada saat manusia Indonesia hidup. Sampai matipun, segregasi itu tetap terjadi dan diteruskan sampai generasi ini. Masih layakkah orang Indonesia disebut bangsa yang merdeka karena masih mempertahankan warisan bangkai ala kolonial?

Tidak ada komentar: