Aku terkejut, ketika aku dan temanku
mendapat telepon dari gereja. Ah ternyata, ada seorang anggota jemaat yang
meninggal. Beritanya simpang siur, ada yang berkata bahwa yang meninggal adalah
seorang perempuan tua yang sudah sakit-sakitan. Lalu, ada yang berkata bahwa
yang meninggal adalah anak laki-laki dari perempuan itu.
Di tengah kesimpang siuran itu, jantungku berdebar
kencang. Perasaanku berkata bahwa aku harus memakamkannya karena pendeta jemaat
di tempatku praktek sedang tidak ada di tempat. Perasaan tegang tidak karuan
itu langsung surut dan berganti menjadi perasaan sedih, setelah aku mengetahui
dengan pasti siapa yang meninggal.
Dia yang meninggal dan harus kumakamkan adalah laki-laki
yang sangat menarik perhatianku, sejak aku pertama kali datang ke jemaat ini. Laki-laki
itu sering datang terlambat ke gereja. Pakaiannya tidak mewah, bahkan kadang
lusuh. Namun, kepada orang inilah aku kagum. Dalam dirinya kutemukan nilai
kegigihan, rasa syukur dan kecintaan yang tulus pada Tuhan.
Laki-laki ini sering terlambat
karena dia tidak memiliki kaki yang mudah diayunkan untuk melangkah, seperti
kakiku. Badannya bongkok, karena tulangnya yang menonjol. Dia harus berjalan
mundur sambil bertumpu pada kedua tongkatnya untuk naik ke gedung gereja. Sesuatu
yang sering kita sebut sebagai “keterbatasan” dalam dirinya, tidak membuatnya
merasa dibatasi. Tak ada yang dapat membatasi kecintaannya kepada Tuhan, bahkan
kondisinya yang buruk pun tidak.
Ia berbeda dengan sebagian besar penduduk bumi yang lebih
suka menengadahkan tangannya untuk meminta belas kasihan orang. Ia bukanlah peminta-minta.
Sekitar 20 meter dari rumah kosnya yah hanya sepetak, ia membuka kios rokok
kecil-kecilan. Usahanya ini pasang surut. Ada banyak orang yang berbelas kasih.
Mereka merelakan uang kembaliannya untuk dinikmati oleh laki-laki yang berusia
empat puluh lima tahun ini. Namun, ada juga orang-orang yang jahat. Berkali-kali
kiosnya dirampok. Oh, manusia memang kejam dan tidak ada bedanya dengan
predator.
Walaupun menurut kacamata kita, hidupnya penuh
penderitaan, dia begitu menikmati hidupnya dengan penuh ucapan syukur. Dalam
peribahasa Jawa, dirinya nampi lakon
ingkang prihatin (menerima kenyataan hidup yang berlumuran kesulitan). Ungkapan
doa Reinhold Niebuhr, “God
grant me the serenity to accept the things I cannot change; courage to change
the things I can and
wisdom to know the difference.” telah nyata jelas
dilakoni olehnya. Penerimaannya akan kenyataan dirinya membuat laki-laki yang
tampak lebih tua dari orang-orang sebayanya ini dapat menjalani kehidupannya
dengan penuh ungkapan syukur.
Oey Liong Tjoan, engkau meninggal dengan terhormat. Engkau
begitu dikasihi oleh orang banyak. Bahkan, dalam kematianmu, batas segregasi
agama dan rasial pun menjadi luntur. Engkau dapat dimakamkan di tengah-tengah
kuburan orang Muslim dan pribumi[1]. Ketionghoaan dan
kekristenanmu tidak menjadi penghalang bagi orang lain untuk mengasihimu.
Mengapa? Dengan mengutip
apa yang disampaikan oleh Eka Darmaputera, aku menyatakan bahwa engkau
benar-benar menjadi penerjemah berita Injil di dunia ini. Engkau menunjukkan nilai
kegigihan, di tengah dunia yang pragmatis dan serba instan. Engkau menjalani
hidup dengan penuh syukur, di tengah dunia yang rakus dan konsumtif. Engkau
membaktikan hidupmu untuk mencintai Tuhan, di tengah dunia yang menggeser Allah
dengan Mamon. Engkau mencintai sesamamu, di tengah dunia yang penuh
pengkotak-kotakkan.
Ibadah pemakamanmu menjadi kenangan yang sangat berharga
bagiku. Bukan semata-mata karena ini adalah pemakaman pertama yang kulayani,
melainkan karena aku memakamkan orang yang sangat istimewa di hadapan Tuhan.
Aku memakamkan Oey Liong Tjoan, sang penerjemah berita Injil. Engkau membuatku
benar-benar mengerti akan berita Injil. Melaluimu, aku diingatkan untuk terus
menerjemahkan berita Injil di dalam hidupku.
YIL, Temanggung, 16 Agustus 2012
[1] Dalam konteks ini,
kuburan orang Kristen biasanya dipisahkan dengan kuburan orang Muslim. Kuburan orang
Tionghoa biasanya dipisahkan dengan kuburan orang pribumi. Pemisahan ini
merupakan warisan pemerintah kolonial. Sebenarnya, di balik hal-hal yang sudah
kita anggap biasa ini, terkandung sebuah segregasi rasial dan agama yang
dilahirkan pemerintah Belanda melalui politik devide et impera. Sungguh menyedihkan! Segregasi etnis dan agama
tidak hanya terjadi pada saat manusia Indonesia hidup. Sampai matipun,
segregasi itu tetap terjadi dan diteruskan sampai generasi ini. Masih layakkah
orang Indonesia disebut bangsa yang merdeka karena masih mempertahankan warisan
bangkai ala kolonial?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar