Minggu, 21 Oktober 2012

Keluargaku: Inspiratif atau Destruktif?



I.              Beberapa Percikan Peristiwa
Percikan Peristiwa 1
Pada tanggal 27 Februari 2012, Usman, seorang warga di Palembang, ditangkap oleh polisi karena telah membunuh. Yang ia bunuh adalah mertua perempuannya. Ia membacok kepala ibu mertuanya yang sedang tidur dengan menggunakan golok yang dibawanya. Dari hasil pemeriksaan polisi, diketahui bahwa motif pembunuhan yang dilakukan Usman adalah karena dendam kesumat. Usman jengah karena martabatnya direndahkan oleh pihak keluarga istrinya. Berita ini dilansir dari www.indosiar.com.

Percikan Peristiwa 2
Niko Kili-kili, seorang mantan ketua preman yang sempat membuat keributan di Tanah Abang Jakarta, terlahir dari sebuah keluarga broken home. Ayahnya yang adalah seorang pengacara menikah dengan beberapa orang perempuan. Sejak kecil, ayahnya berkata padanya, “Jika kamu masuk penjara karena menghamili anak orang ataupun memakai narkoba, Papa tidak akan melepaskanmu dari penjara. Jika hendak melakukan kejahatan, bunuh saja orang sekalian! Papa akan membelamu dan membebaskanmu dari penjara.” Niko kili-kili tak dapat menemukan keluarga yang inspiratif dalam hidupnya. Saat dewasa, ia membunuh. Ia bermain judi. Ia menjadi pecandu narkoba.  

**************
Saya mengawali tulisan ini dengan kutipan yang sangat destruktif. Memang, tampaknya kutipan ini berada dalam titik ekstrim (baca: keluarga yang hancur dan rapuh). Namun, saya ingin menghindari kesan generalisir. Memang perlu diakui bahwa tidak selamanya hubungan mertua dan menantu yang retak berujung dengan sebuah golok. Tidak selamanya juga, seorang anak yang berasal dari keluarga broken home menjadi anak yang brutal. Namun, melalui percikan-percikan peristiwa ini, saya ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa keluarga tetap memiliki peran yang penting bagi masing-masing anggotanya dalam mengarungi samudera hidup ini.

II.            Pengaruh Keluarga terhadap Kepribadian Anggota Keluarganya
Kontak sosial yang pertama terjadi dalam keluarga. Zdanowics, Pascal dan Reynart (2004) melakukan studi banding terhadap 814 orang remaja yang tidak bermasalah dengan 358 remaja yang mengalami gangguan psikologis dengan menggunakan kuesioner Oslon (kuesioner yang digunakan untuk melihat bagaimana kondisi keluarga seseorang). Dari hasil penelitian itu, diperoleh kesimpulan bahwa remaja yang tidak bermasalah tumbuh di lingkungan keluarga yang adaptif dan memiliki interaksi yang baik. Sementara itu remaja yang mengalami gangguan psikologis tumbuh di lingkungan keluarga yang berantakan (baca: tercerai berai) dan kaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peluang untuk menjadi sumber inspirasi atau menjadi sumber destruksi bagi anggotanya.
Dalam Alkitab, kita juga melihat kisah beberapa tokoh Alkitab yang hidupnya berantakan karena kehidupan keluarganya yang tidak memberikan inspirasi. Menurut saya, prahara rumah tangga Daud yang berselingkuh dengan Batsyeba secara tidak langsung memberi dampak pada kehidupan keluarganya. Keluarganya hancur berantakan. Tamar, anak perempuannya diperkosa oleh Amnon, saudaranya sendiri. Selanjutnya Amnon dibunuh oleh Absalom, kakak kandung Tamar.
            Sebaliknya, kita juga dapat menemukan keluarga yang inspiratif dalam kehidupan keluarga Timotius. Ia dididik dalam cinta kasih Kristus oleh ibunya Eunike dan neneknya Louis (2 Timotius 1:5). Keluarga menjadi lokus disemainya benih-benih Injil dalam diri anak. Oleh karena itu, pada saat Timotius dewasa, ia bertumbuh menjadi pemimpin yang teguh dan mengasihi Tuhan.
            Dari pemaparan ini, sudah sangat jelas bahwa kehidupan keluarga kita pun berpengaruh terhadap pertumbuhan psikis dan iman masing-masing anggota keluarga. Pertumbuhan kedewasaan psikis dan iman tidaklah terbatas. Psikis dan iman dapat terus bertumbuh sampai kita berada di dalam titik akhir kehidupan. Pribadi-pribadi yang bertumbuh dalam keluarga yang inspiratif tentu saja akan mewarnai kehidupan di lokus yang lebih luas (baca: gereja dan masyarakat). Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh Horminghausen dan Enklaar -teolog di bidang pendidikan Kristiani-. Mereka berkata bahwa kehidupan bergereja pun akan semakin sehat jika anggota-anggota jemaat hidup dalam keluarga yang sehat dan inspiratif. Oleh karena itu, marilah kita membangun keluarga Kristen yang inspiratif dan bukan keluarga yang destruktif! Pertanyaannya bagaimana membangun iklim keluarga yang inspiratif?

III.           Keluarga yang Inspiratif:
Menjadikan Tuhan sebagai Dasar keluarga
Keluarga Kristen harusnya menjadi gambaran dari keluarga Allah. Peristiwa kehadiran Yesus dalam perkawinan di Kana menunjukkan kepedulian Allah terhadap keluarga. Keluarga Kristen harus membangun dasar kehidupan berkeluarganya di atas dasar Kristus. Keluarga yang berjangkar pada Kristus menjadikan kehidupan Kristus sebagai teladan bagi keluarga kita untuk mengarungi hidup ini. Setiap anggota keluarga meneladani kasihNya, kerelaanNya untuk berkorban, kesetiaanNya, ketulusanNya dan perhatianNya. Sebaliknya, jika kita membangun kehidupan keluarga di atas hasrat keegoisan masing-masing anggota keluarganya, maka kita sedang membangun di atas pasir yang rapuh, dan bukan di atas batu karang (band. Mat 7:24-27).
Membangun di atas batu karang berarti menjadikan Kristus sebagai fondasi bagi kehidupan keluarga. Hal ini bukan berarti bahwa tidak akan ada badai hidup yang menimpa keluarga kita. Badai hidup, masalah, dan godaan akan tetap ada. Namun, cara menghadapi badai pada keluarga yang membangun dasarnya di atas Kristus tentunya akan berbeda dengan cara menghadapi badai pada keluarga yang membangun dasarnya di atas pasir. Keluarga yang berakar pada Kristus akan menjadikan Kristus sebagai sumber pertolongan dan kekuatan. Keluarga yang berakar pada Kristus akan mencari solusi yang sejalan dengan kehendakNya.

Mempererat komunikasi di antara anggota keluarga
Ada banyak kesalah-pahaman yang terjadi di dalam keluarga. Suami merasa istri hanya mementingkan dirinya, demikian sebaliknya. Anak-anak merasa orang tua tidak mengerti harapannya, demikian sebaliknya. Padahal, di dalam hati masing-masing anggota keluarga, ada benih-benih kasih untuk saling memperhatikan. Namun, yang sering terjadi adalah perhatianku untukmu tidak dimengerti sebagai pengertian olehmu, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kehidupan berkeluarga kita perlu mengubah persepsi kita. Berpikirlah untuk keutuhan dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga.
Kesalah-pahaman ini sering terjadi karena kurangnya komunikasi. Pada saat ini, kehidupan keluarga Kristen sudah dirasuki oleh perkembangan teknologi yang menyuburkan individualisme. Setiap makan di rumah makan, saya sering memperhatikan pola komunikasi di antara keluarga-keluarga yang makan bersama. Mereka memang duduk dalam satu meja makan. Namun, mereka memiliki dunia yang berlainan. Masing-masing sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing. Tidak ada percakapan di antara anggota keluarga itu. Mereka tersenyum atau cemberut sendiri, sambil menatap telepon genggam. 
Pola komunikasi yang seperti ini membuat jarak yang dekat pun menjadi semakin jauh. Anak dan orang tua menjadi orang asing yang tidak saling mengenal dengan baik. Tidak ada kehangatan dalam keluarga. Akibatnya, kesalah-pahaman pun sering terjadi. Saya berpendapat bahwa setiap keluarga harus membuat perjanjian bersama untuk saling memperhatikan keberadaan masing-masing, serta menyimpan telepon genggam pada saat kebersamaan keluarga. Masing-masing keluarga juga perlu mengadakan persekutuan doa keluarga, walaupun persekutuan doa sangat sulit untuk dilakukan mengingat kesibukan masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan keluarga di kota besar.


IV.          Ah, keluargaku sudah terlanjur kacau!
Jika memang pada saat ini kehidupan keluarga kita berada dalam titik rapuh dan menjurus ke arah destruksi, bukan tidak mungkin kita mengolah sesuatu yang destruktif menjadi inspiratif. Selalu ada harapan di dalam kekelaman. Niko Kili-Kili, dalam Percikan Peristiwa ke-2 pada  bagian tulisan di awal tadi pun akhirnya dapat bertobat dan mengampuni ayahnya. Hidupnya dipulihkan. Ia membaktikan hidupnya untuk melayani Tuhan. Ia bertobat dan ia berubah menjadi seseorang yang begitu mencintai istrinya. Ia tidak mau istrinya merasakan apa yang dialami oleh ibunya dulu. Selalu saja ada harapan untuk memutuskan rantai destruktif yang sudah membelit keluarga kita.
Di dalam Alkitab, kita dapat menjumpai banyak tokoh yang akhirnya dapat berdamai dengan pengalaman pahit di dalam keluarganya. Esau dan Yakub yang hidup dalam ketegangan karena favoritisme yang dilakukan oleh orang tuanya pun pada akhirnya dapat berdamai kembali. Tuhan meretas cinta kasih yang melunturkan kemarahan di dalam dua saudara ini. Mereka berdua pun akhirnya dapat berdamai. Mereka berpelukan, bertangis-tangisan dan bercium-ciuman (Kejadian 33:4). Kisah perdamaian antara Esau dan Yakub ini tentunya dapat menjadi inspirasi bagi keluarga yang berada di ambang kehancuran, untuk kembali lagi merekatkan bejana yang retak.

Selamat mengusahakan keluarga yang inspiratif. Di dalam Kristus selalu ada harapan untuk mengubah keluarga yang destruktif menjadi inspiratif.

YIL




PERJUMPAAN GEMBALA RINGKIH DENGAN DOMBA SULIT



Sebab Sebuah Pencarian....
Dalam ranah pelayanan gerejawi, salah satu hal yang dapat membuat seorang gembala frustrasi adalah keberadaan domba-domba sulit. Bayangkan, apa jadinya jika gembala itu harus harus berjumpa dengan 10, 20, 30, bahkan ratusan domba sulit di dalam ranah pelayanannya ? Apakah sang gembala harus bilang WOW? J
Dalam masa praktik jemaat beberapa waktu lalu, saya menjumpai beragam tipe domba sulit. Seringkali orang-orang yang suka mengkritik secara pedas digolongkan ke dalam kelompok domba sulit. Faktanya, domba sulit tidak hanya sebatas orang yang suka mengkritik dengan tajam. Ada domba sulit yang hanya suka memerintah gembalanya dan menjadikan gembalanya sebagai pembantu. Ada domba sulit yang mengatakan sanggup untuk melakukan tugas tertentu tapi tidak melakukan tugasnya. Ada domba sulit yang suka menggosip. Ada domba sulit yang marah dan lari jika idenya tidak diterima. Ternyata domba sulit itu pun memiliki keanekaragaman tipe.
Tidak dapat dipungkiri, hati ini sering tersakiti ketika berjumpa dengan domba-domba sulit. Namun, di tengah-tengah rasa sakit itu, saya bertanya pada Tuhan. Bagaimana saya harus menghadapinya? Bagaimana saya dapat bekerjasama dengan orang-orang sulit ini agar dapat membuahkan buah yang positif? Dalam pergumulan itu, saya teringat dengan sebuah buku tipis karangan Alm. Pdt. Eka Darmaputera yang saya pernah beli, namun belum sempat saya baca. Buku ini berjudul 10 Tipe Orang Menyebalkan dan Cara Menghadapi secara Alkitabiah. Saya juga mencoba menjilati remah-remah dari lautan informasi luas namun terbatas lewat sebuah pencarian pada google books dengan frasa kunci “dealing with difficult people”. Di sana saya menemukan sebuah buku menarik yang berjudul Dealing with difficult people: Handling problem people in your life yang diedit oleh Jill Briscoe, seorang istri pendeta. Saya merekomendasikan dua buku ini untuk dibaca oleh para gembala dan keluarganya yang sedang merasakan keringkihan ketika menghadapi para domba sulit di jemaatnya.

Mengubah Cara Pandang Siapa?
Dalam menulis bukunya yang berjudul 10 Tipe Orang Menyebalkan dan Cara Menghadapi secara Alkitabiah, Darmaputera diinspiasikan oleh Rick Brinkman dan Rick Kirschner, dua orang yang menulis buku Dealing With People You Can’t Stand. Kedua dokter ini mendefinisikan orang-orang yang menyebalkan sebagai orang-orang yang tidak melakukan apapun yang kita sukai, namun melakukan apapun yang tidak kita inginkan atau bahkan kita larang. Brinkman dan Kirscher mengusulkan sebuah strategi untuk berhubungan dengan orang-orang menyebalkan itu, yakni dengan kesediaan yang tulus dari diri kita untuk membangun jembatan terhadap mereka yang menyebalkan. Membangun jembatan dimulai dengan membangun kepercayaan. Kepercayaan hadir karena adanya ketulusan dan sikap mau mendengarkan. Dengan demikian, kita harus bersikap pro-aktif terhadap mereka yang menyebalkan, bukan menghindari mereka (Darmaputera 2010, 1-12).
Respons Darmaputera terhadap ide dari Brinkman dan Kirschner sangat menarik. Ia mengatakan bahwa jika kita berhadapan dengan orang “menyebalkan”, paling sedikit berusahalah agar kita tidak “menyebalkan” bagi mereka (Darmaputera 2010, 12). Menurut saya, ide ini sangat menarik. Ini berarti kita harus mengubah cara pandang kita terlebih dahulu agar dapat berhadapan dengan orang yang “menyebalkan”.    
Jill Briscoe, editor buku Dealing with difficult people: Handling problem people in your life, berhasil mengubah sudut pandangnya terhadap orang sulit setelah bergumul selama 30 tahun. Selama rentang waktu itu, istri pendeta ini merasa kelelahan karena ia tidak henti-hentinya mendengar kritikan dari domba-domba sulit terhadap suaminya. Dengan kreativitasnya, pada bagian pendahuluan ia membuat kata difficult menjadi sebuah kiat untuk menghadapi domba-domba sulit (Briscoe 2003, v).
D – deliberately. Go out of your way to make friends with difficult people. It’s amazing what a friendships can do. More people are lonely.
I – investigate what the Bible says about the problem, then apply the truth you learn
F – forgive them for being difficult.
F – forgive them again!
I – Intercede for them. It’s hard to be irritated with someone, when you’re in the presence of God.
C – Confront the difficulty and try to talk with them about it. A third part may help to reffere if necessary.
U – Understand “why” the person is behaving like he or she is.
L – Love them practicaly. Do something for them they don’t deserve
T – Thank God daily for the difficult people in your life. Praise change relationships. You’ll see.

Bukankah permainan kata ini adalah contoh yang menarik? Kata difficult mendapat sebuah kreasi sehingga difficult tidak lagi menjadi difficult, tetapi menjadi sebuah kata yang sarat makna dan kiat jitu untuk menghadapi si difficult. Dengan mengubah cara pandang kita terhadap domba-domba yang sulit, kita akan memiliki belas kasih ketika berhadapan dengan mereka.
            Saya sendiri pernah berjuang melawan sudut pandang saya terhadap domba yang menyebalkan semacam ini. Ada seorang jemaat yang entah mengapa menyebarkan berita bohong tentang saya. Dia mengatakan bahwa saya menyakiti dia dengan sengaja. Awalnya saya tidak tahu bahwa gosip ini sudah tersebar, sampai salah seorang jemaat memberi-tahu saya. Saya terkejut karena saya merasa tidak pernah melakukan kekeliruan itu padanya. Banyak jemaat yang menuntut saya untuk meminta maaf kepadanya. Setelah merenung-renung dan mendapatkan masukkan dari para sahabat, saya memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya. Ternyata, pada saat perkunjungan itu, saya mengerti mengapa ia menyebarkan gosip itu. Ya, dia hanya ingin saya memperhatikannya. Kehidupannya suram. Ia dibuang oleh orang tuanya yang kaya raya karena ia adalah seorang difable. Ia tidak menikah, hidup sendirian dalam keterasingan karena ia merasa bahwa semua orang membencinya. Saat saya datang ke rumahnya, tanpa mengucapkan kata maaf, ia sudah tersenyum. Ia membiarkan saya masuk ke rumahnya, menemaninya mengaduk adonan kue, sambil mendengarkan kisahnya yang menyedihkan. Tuhan pun bekerja, Ia mengubah sudut pandang saya terhadap domba menyebalkan ini. Kemarahanku telah diubahNya menjadi rasa kasih dan iba terhadap domba menyebalkan ini.  

Tips menghadapi Mereka: “Mendesis, bukan menggigit”
            Ajahn Brahm, dalam Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya I, menceritakan sebuah kisah yang menarik tentang seekor ular jahat. Ular jahat ini bertobat setelah mendengar ceramah di vihara. Ia bersumpah untuk tidak menggigit orang lagi. Awalnya banyak orang yang tidak percaya. Mereka tetap merasa takut pada mantan ular jahat itu. Hingga satu saat, ada pemuda yang berani menggoda ular ini, namun ular itu hanya tersenyum dan tidak menggigitnya. Orang-orang di sekitar ular itu mulai yakin bahwa ular itu sudah benar-benar bertobat. Singkat cerita orang-orang di sekitar ular itu mulai menghina ular ini bahkan melemparinya sampai ia kesakitan. Mantan ular jahat ini tetap diam sampai pada batas kesabarannya. Akhirnya, ia berkeluh kesah pada ular suci. Ular suci tersenyum, lalu ia berkata, “Saya hanya melarangmu untuk tidak menggigit, namun itu bukan berarti bahwa kamu tidak boleh mendesis.” Dengan demikian, memiliki kasih kepada domba yang menyebalkan bukan berarti membiarkan mereka berlaku seenaknya pada kita. Memiliki belas kasih dapat berarti “mendesis” kepada mereka, namun tidak “menggigit” mereka.
            Darmaputera memaparkan kiat-kiat mendesis dengan baik untuk ketika menghadapi domba-domba yang menyebalkan. Kiat-kiat ini tersebar dalam seluruh tulisannya. Namun menurut saya, Darmaputera ingin mengatakan bahwa kita harus mengenali dulu tipe orang menyebalkan mana yang kita hadapi. Perlu diingat bahwa ada banyak tipe orang yang menyebalkan. Darmaputera menyebut ada 10 tipe orang menyebalkan, yakni tipe “tank”, tipe “sniper”, tipe “granat”, tipe “mister tahu segala”, tipe “saya juga tahu”, tipe “manusia seribu janji”, tipe “makhluk negatif”, tipe “barangkali”, tipe “tanpa ekspresi dan tipe “tanpa opini” (Darmaputera 2010, 34-169). Untuk menghadapi kesepuluh tipe itu, kita perlu menggunakan strategi khusus. Pendekatan yang digunakan untuk tiap tipe berbeda-beda. Cara “mendesis” (dalam bahasa Briscoe: mengkonfrontasi sifat dan pemikiran mereka) terhadap mereka pun berbeda-beda dan tidak dapat disama-ratakan. Sikap inilah yang disebut cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.

Penutup
“Gembalakanlah domba-domba-Ku!”
kata Yesus kepada Petrus
Tiga kali Yesus mengatakan hal ini kepada Petrus. Tuhan Yesus meminta Petrus, dan juga kita sebagai para gembala yang ringkih, untuk menggembalakan domba-dombaNya. Dia tidak mengatakan, “Gembalakanlah domba-domba-Ku yang mau diatur dan tinggalkanlah domba-domba-Ku yang menyebalkan!” Ini berarti kita harus mengembalakan semua domba-domba-Nya, termasuk domba yang menyebalkan. Demikian juga dengan Kristus, Ia tidak meninggalkan domba yang hilang, ia justru mencari domba yang terhilang.
            Pada akhirnya, saya berefleksi bahwa kita tidak akan mampu menghadapi domba-domba yang menyebalkan tanpa tuntunan tangan Tuhan. Kiranya Tuhan menolong para gembala untuk memiliki hati yang penuh kasih untuk mengasihi domba-domba yang menyebalkan. Kiranya Tuhan menolong kita untuk bersikap bijaksana ketika berjumpa dengan domba-domba yang menyebalkan.

Tuhan, tolonglah kami untuk menggembalakan domba-domba yang menyebalkan!
Tuhan, gembalakanlah kami jika kami pun menjadi gembala yang menyebalkan!
Amin.

Sumber: 
Brahm, Ajahn. 2009. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 1. Jakarta: Awareness Publication
Briscoe, Jill. 2003. Dealing with difficult people: Handling problem people in your life. Eastbourne: Kingsway Communication.
Darmaputera, Eka. 2010. 10 Tipe orang Menyebalkan dan Cara Menghadapi Secara Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.




Senin, 01 Oktober 2012

Corat-coret di penghujung masa praktik....



Hal yang paling mengesankan bagiku di setiap pengujung masa praktik di jemaat adalah ketika berjumpa dengan mereka yang secara ekonomi tergolong kurang mampu, namun begitu memperhatikan saya. Hal ini bukan kualami sekali saja, tapi kualami berkali-kali. Dalam tulisan ini, aku akan menceritakan dua pengalamanku berkaitan dengan hal ini. Anggaplah ini hanya sekadar corat-coret di akhir masa praktik.
Beberapa bulan lalu, saat saya mengakhiri masa praktek di Surabaya, hadiah pertama yang saya dapatkan adalah dari seorang nenek tua renta yang tidak punya rumah. Dia menelepon HP saya dari telepon umum dan mengatakan bahwa ia menitipkan sebuah bingkisan untuk saya di pos satpam. Saya turun dan mengambil hadiah darinya. Dia memberi sebuah taplak. Taplak yang tampaknya sudah lama ia simpan. Saya tidak menilai barangnya, tapi saya sangat tersentuh dengan apa yang ia lakukan. Saya tahu tidak mudah baginya untuk pergi ke gereja dan menitipkan kado itu untuk saya. Dia harus berjalan sangat jauh dari rumah kosnya dengan kondisi kaki yang pincang.
Pagi ini, di penghujung masa praktikku di Temanggung, seorang laki-laki tua, datang ke pastori. Dia rupanya sudah mencari saya sejak hari Minggu yang lalu, namun ia tidak dapat menjumpai saya. Dia sudah memperhatikan saya sejak saya pertama datang ke sini. Dia datang membawa sebuah bungkusan. Dari bungkusnya, saya menebak bahwa yang ia ingin berikan pada saya adalah sebuah buku karena dia tahu saya senang membeli buku. Saya sedih karena di dalam keterbatasannya, dia menyisihkan uangnya untuk membelikan sebuah buku untuk saya.
Mungkin akan ada pengalaman-pengalaman lain seperti ini yang akan menyusul (pe-de banget deh gw!). Namun, bagi saya pengalaman-pengalaman ini mengingatkan saya akan dua hal. Pertama, perhatikanlah mereka yang benar-benar membutuhkan uluran tangan kita. Sejauh mana program-program gereja diarahkan pada mereka yang tak mampu. Cintailah mereka dengan segenap hati kita. Lakukanlah yang terbaik untuk mereka, seperti untuk Tuhan. Kedua, pancarkanlah ketulusan seperti mereka yang telah memancarkan ketulusan di dalam keterbatasannya. Dari merekalah aku belajar tentang arti ketulusan dan kasih. Kiranya para pemimpin juga belajar untuk menjadi pemimpin yang tulus dan penuh kasih seperti mereka. Janganlah menjadi pemimpin yang bertangan besi seperti zombie. hehehehe....